Selasa, 25 Februari 2014
Senin, 03 Februari 2014
Sepenggal Kisah dari Adisana
Ilustrasi Patung Petani, Oleh Alik Setiawan |
Sepenggal
Kisah dari Adisana
Apa yang terlintas di pikiran anda, ketika
mendengar kata “Adisana”. Apakah yang terlintas di pikiran anda adalah sebuah
desa di wilayah kecamatan Bumiayu yang identik dengan kekerasan. Apakah ada
persepsi lain yang lebih baik tentang Adisana, misal desa Adisana identik
dengan dunia pertanian. Atau esa Adisana identik dengan rel kereta api yang
disitu terdapat Jembatan Sakalimalas. Memang pendapat seseorang mengenai Desa
Adisana dapat berbeda-beda, semua itu dapat muncul dari pengalaman individu
yang pernah mempunyai memori terhadap desa tersebut. Semua persepsi di atas
memang di miliki oleh desa yang terletak di sebelah timur Bumiayu tersebut.
Desa Adisana yang berbatasan langsung dengan desa Dukuhturi dan Penggarutan di sebelah Barat dan
dipisahkan oleh Sungai Keruh. Di sebelah Selatan berbatasan dengan desa
Langkap, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan desa Cilibur. Di sebelah
Utara berbatasan dengan desa Benda dan Sirampog.
Tetapi dari kebanyakan orang mengenal desa
Adisana, adalah karena identik dengan keributan yang dilakukan oleh para
pemudanya. Adisana tidak melulu identik dengan keributan, di balik semua itu
terdapat jasa yang patut dikenang oleh masyarakat Bumiayu dan sekitarnya.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, kejadian seperti apa yang membuat desa Adisana
berjasa. Di desa Adisana terdapat sebuah jembatan kereta api, yang menghubungkan
antara desa tersebut dengan dukuh Talok Dukuhturi. Nah semua itu bermula dan
dimulai sejarahnya di Jembatan Sakalimalas yang legendaris di kalangan
masyarakat Bumiayu. Jembatan yang dibangun mulai kira-kira tahun 1915 era
kolonial Belanda, sebagai jalur kereta di daerah wilayah tengah. Secara
historis pemerintah kolonial membuat jalur kereta api, untuk kepentingan
industri gula.
Foto Pembuatan Sakalimalas,koleksi Tropen museum, Belanda. |
Di mana ini berkaitan dengan sejarah Kabupaten
Brebes, pembuatan jalur kereta api awalnya sebagai penunjang indusrti gula di
wilayah brebes. Kalau sepanjang pantai (utara) Kabupaten Brebes terlintas oleh
jalur jalan kereta api, itu dahulu milik maskape (perkumpulan) Belanda :
Semarang-Cheribon-Stoomstram Maatschaapij disingkat : S.C.S. Dan pembuatan
jalur kereta di pesisir utara, murni untuk pendukung trasnportasi pengangkutan
tebu ke pabrik. Adapun jalur jalan kereta api yang melintasi diagonal (sudut-menyudut)
kawasan Kabupaten Brebes, jurusan Purwokerto-Cirebon, itu dahulu milik
pemerintah Hindia Belanda, di sebut : Staats- Spoor, disingkat S.S. Mungkin
dari kata Spoor inilah orang Jawa menyebut kereta api dengan kata
Sepur. Jadi dari sini secara historis sudah jelas, jalur rel kereta api di
bangun oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan yang berbeda.
Rel
kereta api jalur tengah tentunya melewati wilayah Bumiayu, yang secara
geografis adalah wilayah pegunungan dan lembah yang banyak sungai. Sehingga
bisa dipastikan pembuatan rel harus membelah bukit dan membuat
jembatan-jembatan. Hal ini dapat dilihat di jalur kereta di wilayah Bumiayu,
terdapat jembatan besar kereta api yaitu jembatan Kali Pucung di Kalijurang dan
jembatan Sakalimalas di Adisana. Dalam penulisan Artikel ini akan difokuskan
pada salah satu peristiwa yang patut dikenang. Yaitu suatu peristiwa yang
terjadi di jembatan Sakalimalas, dan melibatkan masyarakat Adisana yang heroik.
Jembatan Sakalimalas yang secara etimologis berasal
dari bahasa Jawa. Yaitu dari kata Saka yang artinya tiang, pilar,
penyangga dan limalas yang menunjuk pada jumlah angka yaitu lima belas.
Jadi jembatan Sakalimalas sebagaimana kita tahu memang mempunyai tiang
penyangga berjumlah 15(limabelas). Maka dari itu setelah jadi dan berdiri
kokoh, jembatan tersebut dinamakan Sakalimalas. Jembatan tersebut membentang di
tengah Kali Keruh, dan menghubungkan antara dukuh Talok dan desa Adisana.
Karena Kali Keruh merupakan salah satu sungai tebesar di wilayah Bumiayu, maka
dari itu jembatan Sakalimalas mempunyai tiang yang cukup banyak supaya kuat dan
kokoh. Kali Keruh yang besar dan berarus deras, dapat menjadi ancaman bagi
jembatan Sakalimalas. Dari cerita para orang tua yang kadang dibumbui mistis,
Kali keruh ketika banjir memang dapat menghanyutkan apa saja. Hal ini memang
terbukti dari keganasan Kali Keruh, dapat merobohkan satu tiang dari jembatan
Sakalimalas.
Ilustrasi Penyelamatan Kereta Api Oleh Warga Adisana. |
Peristiwa robohnya salah satu tiang dari
Sakalimalas, terjadi pada tanggal 8 Maret 1972. Tanggal kejadian tersebut dapat
ditelusuri pada prasasti yang dapat dilihat di tembok SD Adisana I(SD Jaya). Waktu
itu terjadi hujan yang sangat lebat dengan intensitas yang cukup lama, sehingga
mengakibatkan Kali Keruh banjir. Hujan pada waktu siang sampai sore mengakibatkan
Kali Keruh Banjir besar. Akibat arus yang cukup deras dan banjir yang cukup
lama, mengakibatkan salah satu saka jembatan Sakalimalas roboh. Menurut
cerita dari nara sumber yaitu bapak Agus Taufik, robohnya jembatan tersebut
terjadi sekitar pukul tiga sore. Kebiasaan masyarakat desa Adisana, ketika Kali
Keruh banjir besar selalu menengok atau menyaksikan banjir tersebut. Dari dulu
Kali Keruh memang terkenal akan banjir besarnya, yang sering menghancurkan dan
membuat desa-desa di pingiran kalikeruh harus waspada.
Akibat dari banjir tersebut maka salah satu
tiang Sakalimalas roboh, dan tak lama kemudian diketahui oleh masyarakat
Adisana. Masih menurut Bapak Agus Taufik, setelah di ketahui tiang itu roboh,
beberapa perwakilan dari warga Adisana melaporkan ke pihak terkait. Pelaporan
kejadian tersebut ke pihak kepolisian dan Stasiun Bumiayu. Tak lama setelah
kejadian robohnya tiang tersebut, warga Adisana langsung menyaksikan dan menuju
ke TKP, ingin melihat langsung bagaimana kondisi dari jembatan Sakalimalas.
Menurut cerita narasumber tiang itu ambruk dan terpotong menjadi tiga bagian.
Warga Adisana memenuhi tempat kejadian sekitar jembatan. Waktu itu gerimis
masih turun, rel kereta api dipenuhi oleh warga yang ingin menyaksikan.
Prasasti Tentang Kejadian Runtuhnya Jembatan Sakalimalas. |
Mengetahui jembatan Sakalimalas terpotong,
warga Adisana jiwa heroiknya muncul dan bersiaga menghentikan jika ada kereta
yang akan melintas. Warga Adisana memenuhi sepanjang rel kereta yang melewati
pinggir desa tersebut. Rel kereta dipenuh warga dari mulai sebalah jembatan
sampai ujung timur. Tak berapa lama dari arah timur muncul kereta api bisnis,
dan warga mulai beraksi mencoba memberikan kode peringatan dan
teriakan-teriakan supaya kereta tersebut berhenti. Menurut cerita dari
narasumber, pada mulanya kereta masih terus berjalan namun sudah melambat.
Masinis dari kereta tersebut masih belum percaya dengan adanya kejadian
tersebut. Masinis kereta baru percaya ketika ada warga yang secara sigap naik
ke kereta yang berjalan lambat, dan memberi informasi langsung kepada masinis
tersebut.
Setelah itu kereta tersebut berhenti di desa
Adisana sebalah timur sebelum jembatan, tepatnya di sekitar Dukuh Mingklik Adisana.
Masinis kereta tersebut kemudian turun dan meninjau langsung jembatan
Sakalimalas yang roboh. Masih menurut cerita dari narasumber, ternyata gerbong
kereta tersebut mengangkut para ABRI. Jadi kereta yang melintas tersebut
membawa tentara atau TNI, bukan penumpang biasa. Setelah berhenti di Adisana,
kereta yang membawa rombongan TNI tersebut mundur sampai ke stasiun Kretek
Paguyangan. Melihat situasi jembatan yang tidak bisa dilalui, maka rombongan
tersebut dilimpahkan menggunakan bis. Dapat dibayangkan jika kereta tersebut
lewat maka akan terjun bebas ke Kali Keruh, berapa banyak nyawa yang akan
melayang. Tidak diketahui mengapa kereta tersebut tetap lewat, padahal warga
sudah melaporkan ke pihak stasiun. Mungkin karena jeda peristiwa ambruknya
tiang dan lewatnya kereta tersebut cukup singkat. Sehingga tidak ada persiapan
dari pihak stasiun, atau karena mungkin peralatan komunikasi perkeretapian
terganggu akibat Sakalimalas ambruk.
Akibat jembatan Sakalimalas yang terbelah,
maka aktivitas perjalanan kereta api di jalur tengah lumpuh total. Sebagiamana
kita tahu, kejadian atau bencana yang besar mengundang rasa penasaran dari
seseorang. Tak terkecuali robohnya tiang Sakalimalas mengundang rasa penasaran
warga Bumiayu dan sekitarnya untuk menyaksikan langsung. Setelah tersiar kabar
jembatan Sakalimalas ambruk, maka masyarakat Bumiayu dan sekitarnya antusias
menyaksikan dan mengabadikannya dengan foto. Pada tahun tersebut hanya beberapa
yang mempunyai kamera foto, maka dari itu untuk arsip visual dari kejadian
tersebut sangat sulit dicari. Kemungkinan ada di kabupaten atau di arsip pusat
perkeretaapian. Tetapi menurut cerita dari narasumer, banyak warga di Kecamatan
Bumiayu bahkan dari luar Bumiayu seperti Ajibarang, menyaksikan langsung
runtuhnya tiang Sakalimalas. Memang secara visual Sakalimalas mempunyai bentuk
yang monumental, sehingga banyak menyita perhatian.
Peristiwa ambruknya jembatan tersebut segera
ditindaklanjuti oleh pemerintah, dalam hal ini adalah oleh Kementrian
Perhubungan dan PT. Kereta Api Indonesia. Perbaikan segera dilaksanakan guna
menunjang kelancaran transportasi darat. Perbaikan salah satu tiang tersebut,
memakan waktu cukup lama sekitar tiga bulanan. Jadi selama proses perbaikan
tersebut, jalur tersebut lumpuh total. Perbaikan salah satu tiang tersebut,
tidak seperti bentuk yang semula tetapi diganti dengan bahan baku rangka baja. Ini
dapat dilihat pada struktur jembatan Sakalimalas sekarang, dan bahkan sekarang
pemandangan jembatan legendaris tersebut sudah berbeda. Sudah terdapat satu
jembatan di sebelahnya, karena penambahan satu jalur menjadi dua jalur rel.
Setelah jembatan Sakalimalas selesai di
perbaiki dan diganti dengan tiang rangka baja. Kemudian jembatan tersebut
diresmikan oleh menteri perhubungan, yang pada waktu itu menjabat adalah Frans
Seda. Peresmian jembatan Sakalimalas bersamaan dengan diresmikannya SD Adisana
I(SD Jaya). Peresmian tersebut pada tanggal 16 Juni 1972, dan upacara peresmian
tersebut berlangsung di halaman SD Adisana I. Menurut cerita dari Bapak Agus
Taufik, peresmian tersebut berlangsung meriah dan ramai, terdapat layos dan
panggung untuk acara seremonial. Jadi sebagai wujud dedikasi dan terimakasih
kepada warga Adisana juga rakyat Bumiayu, maka pemerintah menganugerhkan
Sekolah Dasar (SD). Sekolah Dasar tersebut merupakan sekolah pertama di
kelurahan Adisana. Dan untuk ukuran tahun itu, sekolah tersebut merupakan
Sekolas Dasar, yang secara infrastruktur sudah bagus dan baik di wilayah
kecamatan Bumiayu.
Prasasti Peresmian Jembatan Sekaligus Peresmian SD Adisana I, Oleh Menteri Perhubungan Frans Seda Tahun 1972. |
Warga Adisana dalam peresmian itu, dijamu
dengan makan-makanan yang serba enak dan mewah (untuk ukuran pada tahun itu).
Pada waktu peresmian tersebut PT. K.A.I, sengaja membawa makanan dengan kereta
khusus untuk masyarakat Adisana. Dan kereta yang membawa makanan tersebut,
berhenti tepat di samping SD Adisana I, bukan di Stasiun Bumiayu. Warga Adisana
menikmati jamuan makan yang untuk ukuran tahun itu tergolong mewah dan
istimewa. Warga dapat menikmati makanan dan minuman yang belum pernah
dirasakannya. Makanan dan minuman kaleng yang istimewa dapat dinikmati gratis
oleh warga Adisana. Seperti misalnya minuman berkarbonasi merk Sprite,
minuman tersebut baru dirasakan warga Adisana pada waktu peresmian tersebut. Di
mana pada waktu itu ekonomi bangsa dan penyebaran kemakmuran belum merata,
sehingga untuk dapat menikmati makanan atau barang-barang yang mewah cukup
sulit.
Itulah peristiwa yang heroik dari masyarakat
Adisana, tentang ambruknya salah satu tiang jembatan Sakalimalas. Dengan
kesadaran tinggi dan semangat kebersamaan, warga Adisana berusaha mengentikan
laju kereta api yang membawa rombongan tentara. Dan sebagai bentuk dedikasi,
pemerintah menganugerahkan Sekolah Dasar (SD), selain itu juga di buat patung
sebagai peringatan akan penyelamatan kereta api tersebut. Patung tersebut
sebagai bentuk simbolis penyelamatan yang dilakukan warga. Sosok patung tersebut
merupakan pak tani yang telanjang dada dengan membawa cangkul di pundaknya. Dan
tangan kanan Pak Tani diangkat ke atas sembari memegang baju dan
melambai-lambaikannya, sebagai isyarat untuk menghentikan laju kereta api.
Patung tersebut dulu letaknya di samping SD Adisana I dan menghadap ke timur.
Tetapi patung Pak Tani tersebut sekarang sudah tidak ada, roboh dan termakan
usia. Dari sudut pandang semiotika, patung tersebut menandakan masyarakat
Adisana yang mayoritas dulu sebagai petani. Sedangkan gestur dari patung pak
tani tersebut, menandakan sikap yang berusaha memberi sinyal bahaya kepada
kereta api yang melaju.
Foto Dokumentasi dari Narasumber Bapak Agus Taufik, Pembangunan Kembali Jembatan Sakalimalas dengan Rangka Tiang Baja (tampak di background) |
Cerita tentang robohnya salah satu tiang
Sakalimalas, masih dapat didengar dari para orang tua yang tinggal di
lingkungan desa Adisana. Penulisan artikel ini sebagai bentuk kepedulian
Komunitas Pecinta Sejarah Bumiayu (Kompas Boemi). Yang kedepannya berusaha menacatat
peristiwa-peristiwa dan tempat bersejarah di lingkungan kecamatan Bumiayu. Penulisan ini sebagai bentuk
stimulus untuk dapat memicu, kepedulian kawan-kawan dari komunitas untuk dapat
melestarikan sejarah di Bumiayu dan sekitarnya. Melalui fotografi, artikel,
video atau bentuk lainnya cerita sejarah atau tempat bersejarah dapat
dilestarikan. Dan untuk melengkapi penulisan artikel ini, maka dibuatkan
ilustrasi sebagai pelengkap visual tentang kejadian robohnya tiang jemabatan
Sakalimalas. Ilustrasi ini dibuat karena keterbatasan sumber visual, semoga
saja dapat menggambarkan peristiwa yang sesungguhnya. Semoga tulisan ini dapat
memberikan informasi yang menarik kepada teman-teman Kompas Boemi.
Referensi :
·
Sejarah
Kabupaten Brebes, Pemkab Brebes, 2011.
· Tropen Museum.nl
·
Narasumber
Bpk. Agus Taufik.
Senin, 27 Januari 2014
Sejarah dan perkembangan kelompok seni rupa di Bumiayu.
Sejarah dan perkembangan kelompok
seni rupa di
Bumiayu.
Bumiayu adalah kota kecil
yang terletak di ujung selatan kabupaten Brebes, mayoritas penduduknya
berprofesi sebagai pedagang, petani dan buruh. Tetapi di balik semua itu
Bumiayu menyimpan potensi di bidang seni rupa. Kapan tepatnya gerakan seni rupa
itu muncul di Bumiayu? Secara historis memang tidak ada narasi yang jelas
tentang dunia kesenian. Tidak ada seniman atau hasil karya yang dapat menjadi
rujukan dalam pemetaan sejarah tersebut. Tetapi di Bumiayu wilayah barat, tumbuh
dan berkembang kerajinan produksi alat musik tradisional, yaitu rebana atau kencer dalam bahasa Bumiayu-an. Kita
tahu bahwa kota Bumiayu identik pula dengan nilai-nilai religiusnya, bumiayu
dimata orang asing terkenal dengan sebutan “Kota Santri”. Secara tidak langsung
keriligiusan tersebut membawa imbas dalam bidang kesenian yaitu seni musik
tradisional dan seni kerajinan. Pusat kerajinan alat musik tradisional tersebut
berada di desa Kaliwadas, disitu diproduksi alat tradisional dan modern.
Alat-alat yang di produksi antara lain , rebana, bedug, drum, guitar dan
lainnya.
Kapan tepatnya kemunculan
kesenian yang Islami di Bumiayu memang tidak diketahui
secara pasti karena keterbatasan dalam literatur. Apabila ditelusuri lebih jauh
kebudayaan tradisional religi ini memang tidak lahir murni di Indonesia, khususnya
kebudayaan dengan nuansa islami. Kesenian tradisional yang ada di Indonesia
adalah karena pengaruh dari bangsa asing. Hasil kerajinan tersebut mungkin di
pengaruhi kebudayaan Islam yang datang di nusantara. Menurut Buya Hamka, Islam
dibawa ke Indonesia oleh bangsa Arab dan masuk ke Indonesia pada abad ke-7.
Mengenai sejarah musik rebana, konon berasal dari Timur Tengah, di nusantara
seni rebana dibawa oleh para pedagang dari Arab yang tinggal di pesisir pantai
Indonesia. Hingga dalam perkembangannya alat tersebut bisa di produksi oleh
masyarakat pribumi.
Para anggota
Sanggar Karya Lestari berpose di depan karya pada saat pameran pembangunan di
Bumiayu.
Tetapi kemunculan pusat
kerajinan itu tidak dapat dijadikan
tolok ukur dalam pemetaan seni rupa di Bumiayu. Kesenian tersebut masuk dalam
kategori kesenian tradisional, walaupun kerajinan itu masuk dalam kategori seni
rupa, tetapi orientasinya lebih kepada mass
production bukan fine art. Maka
dari itu tidak masuk dalam kategori fine
art, di mana yang akan kita bahas di sini adalah seni rupa yang berbasiskan
seni murni, yaitu Seni Lukis, Seni Grafis, dan Seni Patung. Sebagai tonggak munculnya gerakan seni rupa modern di kota Bumiayu kira-kira di mulai pada kira-kira tahun
1983, ditandai dengan munculnya Sanggar Karya Lestari. Sanggar ini dipimpin
oleh Sudarsono yang menampung teman-teman yang mempunyai kemampuan dibidang
seni rupa khususnya seni lukis. Para anggotanya antara lain adalah Nurkholis,
Sobirin, Sutrisno (Alm), Slamet (Alm), Jumaris (Alm), Irfan, Junaedi dan
Suyatno. Sudarsono yang mempunyai latar belakang akademis di bidang seni rupa,
beliau pernah megeyam pendidikan seni rupa di Yogyakarta. Beliau belajar di SSRI (sekarang
SMSR),
mengambil jurusan seni rupa. Bermodalkan keahlian di bidang tersebut Sudarsono
memotivasi teman-teman untuk mendirikan perkumpulan atau wadah yang berfungsi
sebagai ajang kreatifitas seniman Bumiayu
pada waktu itu, maka di bentuklah Sanggar Karya Lestari.
Dengan demikian gerakan
seni rupa yang dipimpin oleh Sudarsono adalah termasuk dalam kategori seni rupa
modern. Menurut Sanento Yuliman dalam bukunya Dua Seni Rupa mengatakan bahwa yang dimaksud dengan seni rupa
modern Indonesia bukanlah lanjutan dan juga bukan transformasi seni
tradisional, baik seni tradisional salah satu maupun seluruh etnis di
Indonesia. Dengan demikian sudah jelas bahwa kemunculan Sanggar Karya Lestari,
lepas dari pengaruh dari kesenian tradisional yang ada di kota tersebut.
Sejak kemunculan sanggar
tersebut dunia kesenian di kota kecil tersebut menjadi produktif dan dinamis.
Dengan berbekal kemampuan otodidak yang dimiliki dari setiap anggotanya mereka
berkarya dengan penuh semangat. Karya-karya yang dihasilkan dari para anggotanya
bermacam aliran mulai dari Naturalisme, Dekoratif, Realistik, Kaligarfi, dan Ekspresionisme. Karya mereka masih
terpengaruh seniman-seniman besar Indonesia seperti Raden Saleh, Basuki
Abdulah, Affandi, Sudjojono, Amri Yahya, dan yang lainnya. Seniman yang
bernaung disanggar Karya Lestari cukup produktif dalam mengasilkan
karya-karyanya. Dengan segala kemampuan mereka melukis dengan meggunakan media
apa saja seperti pensil, pastel, konte, arang, dan cat minyak. Karya-karya yang
dihasilkan dari belajar bersama mempunyai karakter tersendiri, memang sebuah
karya seni mengekspresikan jiwa setiap senimannya. Sebagaimana yang dikatakan
Sudjojono “Kalau seorang seniman membuat barang kesenian, maka sebenarnya buah
kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian adalah
jiwa yang ketok , jadi kesenian
adalah jiwa”, Demikian statement yang diungkapkan oleh pendiri Persagi.
Salah satu event
pameran dari Sanggar Karya Lestari,
Tampak
ketua sanggar Bpk. Sudharsono (duduk) dan Nurkholis (bediri)
Tetapi proses berkesenian
mereka memang dipengaruhi oleh masyarakat sekitar yang masih awam dalam dunia
kesenian. Akibatnya karya yang dihasilkan masih sebatas realistik dan enak
untuk dilihat atau di nikmati. Karya-karya yang dihasilkan adalah jenis Lukis Potret, Lukisan Pemandangan, Lukisan Kaligrafi, dan Dekoratif. Secara teknik
memang sudah bagus dan artistik, namun secara konseptual mungkin masih ada
kekurangan. Kita tahu di dunia
kesenian ada beberapa konstruksi yang saling melengkapi
dan mengisi. Komponen yang pertama adalah seniman, masyarakat penyangga,
lembaga kesenian, kritikus dan media. Keberlangsungan sanggar tersebut memang
berjalan dengan komponen-komponen
kesenian tersebut. Tetapi dengan segala kekuatan dan energi, Sudarsono bersama
teman-temannya terus bergerak aktif mengadakan dan mengikuti pameran-pameran.
Kemunculan sanggar
tersebut membuat suasana yang berbeda di kota Bumiayu, ketika ada sebuah acara
atau kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah setempat, sanggar Karya lestari
ikut andil dalam perhelatan tersebut. Tetapi sanggar tersebut tidak hanya
pameran di dalam kota, tetapi merambah keluar seperti pameran di Purwokerto, dan
Brebes. Pada waktu itu memang kondisi dunia kesenian di Bumiayu tidak berjalan
mulus, sehingga para seniman Bumiayu yang tergabung dalam sanggar tersebut
hanya berpameran di kota-kota tetangga. Memang sungguh ironis ada sebuah
perkumpulan seniman yang mencoba membawa nama daerahnya, kurang begitu di
perhatikan oleh pemerintah setempat. Tetapi seniman-seniman yang bernaung di Sanggar
Karya Lestari mencoba untuk tetap eksis dalam berkesenian. Mereka terus
berkarya, menerima pesanan-pesanan lukisan, mendidik anak-anak di sanggar, dan
tetap berpameran. Selama eksisnya sanggar tersebut tidak ada pencapaian atau
prestasi yang membanggakan, sanggar tersebut hanya aktif di Bumiayu dan
kota-kota tetangganya. Menurut narasumber yaitu saudara Suyatno, Sanggar Karya
Lestari mulai non aktif pada tahun 1992. Bubarnya sanggar tersebut dipengaruhi
oleh banyak faktor, antara lain adalah karena kesibukan dari masing-masing
anggotanya, pemerintah setempat yang kurang mendukung, dan masalah eksternal
lainnya.
Suasana
keramaian pameran yang diadakan oleh Sanggar Karya Lestari.
Setelah bubarnya sanggar
tersebut dunia kesenian di Bumiayu mengalami kevakuman yang cukup lama. Kevakuman
tersebut membawa pengaruh yang cukup signifikan dunia kesenian di kota Bumiayu,
tidak ada kegiatan berkesenian yang membanggakan bagi masyarakat , mungkin
hanya pameran-pameran di tingkat sekolah. Kevakuman tersebut disikapi
seniman-seniman eks-sanggar Karya lestari untuk tetap berkarya, dengan
intensitas yang tidak begitu greget. Hingga pada akhir tahun 1999 muncul
perkumpulan anak muda Bumiayu, yang dipimpin pemuda yang bernama Heppy. Mereka
muncul ke publik dengan membawa panji-panji kesenian, dan menamakan perkumpulan
mereka dengan nama Sanggar Kulit. Dan para anggota awal yang bergabung dengan
sanggar ini antara lain Aji, Yono, Iqbal, dan Ferry Kemunculan Sanggar Kulit
yang di ketuai oleh Heppy tidak berjalan mulus, banyak masalah ekternal yang
menghampiri. Salah satunya adalah perselisihan antara sanggar dan pihak luar
yang ingin mengambil alih dan memanfaatkan. Hingga pada akhirnya kepemimpinan Sanggar
pindah tangan kepada Haris Zulfikar yang akrab disapa Agep, pemuda pendatang
yang juga aktif di seni rupa.
Hinga pada akhirnya
sanggar tersebut diberikan fasilitas berupa gedung dan seperangkat alat kesenian
oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah. Dan sanggar ini
menempati gedung milik Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, yang berlokasi di depan Rumah Sakit Bumiayu. Dengan
kemudahan yang didapat tersebut, seharusnya sanggar tersebut bisa aktif dan produktif
dalam berkesenian. Tetapi fasilitas itu tidak daimanfaatkan secara maksimal dan
orientasi dari perkumpulan tersebut lebih kepada seni pertunjukan atau parade
band. Anggota yang bergabung di sanggar ini mempunyai keahlian di bidang seni
lukis, musik, dan fotografi. Karya-karya dari anggotanya yang mempunyai
keahlian dalam melukis masih berorientasi kepada aliran Realistik, Naturalisme,
Kaligrafi, dan seni lukis potret. Mereka cukup aktif dalam berkarya dan pameran di Bumiayu , dan sering mengadakan acara
pertunjukan atau parade band.
Sanggar Kulit hanya sedikit
memberi warna dunia kesenian di kota Bumiayu, pameran-pameran mulai ada, acara-acara
pertujukan mulai ramai, dan kegiatan kesenian yang lain. Namun sangat
disayangkan Sanggar Kulit berumur pendek, sanggar tersebut mulai non aktif dan
bubar kira-kira pada tahun 2002. Munurut beberapa sumber, keberadaan sanggar
ini dimasuki oknum-oknum yang tidak berkompetensi di bidangnya. Mungkin ini
gambaran singkat dari perjalanan Sanggar Kulit yang singkat dan mungkin juga
penuh kontroversi.
Bumiayu kembali vakum dalam dunia kesenian, terutama seni rupanya.
Tetapi disisi lain, banyak komunitas-komunitas seni musik yang bermunculan. Ini
ditandai dengan banyaknya acara musik yang diadakan, banyaknya band-band yang
bermunculan, dan event organizer. Dunia seni rupa di kota
tersebut benar-benar vakum untuk waktu yang cukup lama. Para bekas anggota dari
kedua sanggar tersebut mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing, dalam hal
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Mungkin menurut pemikiran mereka, dunia
berkesenian di kota kecil tidak menjanjikan keuangan yang cukup, sehingga
mereka bekerja di luar seni. Hal ini dibuktikan oleh sebagian beberapa anggota
yang merantau ke ibukota, bekerja serabutan, dan berwirausaha. Tetapi tidak
dipungkiri sebagian dari mereka masih ada yang tetap berkarya dan berkesenian,
seperti yang dilakukan oleh Suyatno, Nurkholis, dan Agep.
Kevakuman dunia seni rupa
Bumiayu, setelah periode kedua sanggar tersebut berlangsung cukup lama
kira-kira lima tahunan. Tetapi di dalam diam itu ada pergerakan yang secara
pelan tapi pasti mulai menajamkan untuk muncul ke permukaan. Pergerakan yang
secara diam-diam itu di mulai oleh Lukman Aris dan Alik Setiawan. Kedua
pemuda itu mempuyai pemikiran yang baru dan cemerlang, mereka bermaksud
mendirikan perkumpulan yang menampung insan seni yang potensial. Dengan
semangat dan energi yang baru, mereka membentuk dan mendirikan perkumpulan yang
dinamakan Ikatan Pengembang Bakat Seni (IPBS). Kedua pemuda tersebut mempunyai
konsep menampung bakat seni dan mengembangkan dunia seni di Bumiayu, khususnya
seni rupa. Dan sebagai tempat untuk berkumpul dan berdiskusi tentang kesenian,
dipusatkan di toko souvenir Lukman Aris yang berlokasi di depan kantor Pegadaian
Bumiayu. Alik setiawan yang mempunyai latar belakang pendidikan seni rupa di
kampus ISI Yogyakarta, dipercaya oleh teman-teman sebagai leader dalam perkumpulan tersebut.
Pameran perdana
kelompok IPBS, dengan tajuk ” Freedom Expression on the Road”
Perkumpulan yang baru
terbentuk secara tidak sengaja mempertemukan dua generasi yang berbeda, yaitu
alumni sanggar Karya Lestari dan Sanggar Kulit. Nama-nama yang masuk dalam
perkumpulan ini antara lain Bpk. Sudarsono, Suyatno, Agep, (mewakili generasi tua),Alik Setiawan , Lukman
Aris, Martin Awom, Deny Aris Susanto, Muhamad Ali Sobah, Fery Jangkung,
Purwanto, Iwan K, Agus Pakujati, dan Bachtiar Fugara. Setelah terkumpul nama-nama
diatas maka, rencana kedepan dari perkumpulan ini adalah mengadakan pameran
sebagai bukti kepada publik. Dan sebagai bukti eksistensinya maka diadakan
pameran yang pertama dengan tema “Fredoom
Ekspression On The Road”. Pameran yang pertama dari IPBS dilaksanakan tidak
lazim seperti pameran pada umumnya. Dimana pameran ini digelar di trotoar jalan
raya, dengan perlengkapan seadanya dan mungkin tidak layak untuk dapat
dikatakan sebuah pameran. Kegiatan pameran tersebut cukup memberi kejutan bagi masyarakat Bumiayu, publik tidak menyangka
setelah beberapa tahun tidak ada kegiatan seni, tiba-tiba saja ada pameran
lukisan di trotoar yang tidak biasa bahkan mungkin belum pernah ada di Bumiayu.
Karya-karya yang ditampilkan dalam pameran ini antara lain Realistik, Naturalis, Dekoratif, Surealisme, Kaligrafi sampai Abstrak.
Pameran tersebut sebagai
sinyal akan bangkitnya dunia seni rupa di Bumiayu, walaupun masih kurang dari
layak. Dengan adanya pameran tesebut masyarakat Bumiayu beranggapan bahwa
seniman bumiayu memang masih ada dan mencoba untuk bangkit kembali dari tidur
panjangnya. Pada tahun 2007 bulan Agustus, IPBS mengadakan pameran lagi yang
diberi judul “Bumi Art You”. Pameran
yang kedua ini dilaksankan di trotoar lagi dengan konsep pameran yang berbobot
dan lebih baik. Pameran Bumi Art You
ini menampung karya seniman dari kota Bumiayu dan kota lainnya seperti dari
Banyumas, Temanggung, Yogyakarta, dan Jakarta. Dan pameran ini menampilkan
karya-karya dengan berbagai macam aliran, mulai dari Realis, Naturalis, Kaligrafi, Surealisme, Ekspresionisme, Abstrak hingga Kontemporer. Dengan
banyaknya jenis lukisan yang ditampilkan, secara tidak langsung memberikan
wawasan baru bagi masyarakat Bumiayu. Dan pameran ini cukup mendapat sambutan
hangat dari masyarakat, ini dibuktikan dengan ramainya apresiasi yang diberikan
oleh masyarakat.
Suasana pameran
BumiArtyou yang diadakan oleh IPBS.
Yang jadi pertanyaan,
kenapa IPBS mengadakan pameran di trotoar? Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor,
salah satunya adalah tidak adanya gedung kesenian di kota tersebut. Pemerintah
setempat seolah tutup mata terhadap acara-acara kesenian, terutama seni
rupanya. Faktor lainnya adalah apresiasi masyarakat Bumiayu masih sangat minim
terhadap seni rupa, sehingga pameran-pameran tersebut dilaksanakan di trotoar.
Sehingga diharapkan masyarakat dapat dengan mudah mengakses dan melihat
langsung, tanpa harus mengeluarkan biaya yang banyak. Memang dengan diadakan
pameran di trotoar tersebut, masyarakat dengan antusias mengapresiasi
karya-karya yang dipamerkan.
Sampai pada tahun-tahun
berikutnya, IPBS sering diundang untuk mengikuti pameran di acara Bumiayu Fair,
dengan mengisi stand dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah mengadakan
pameran-pameran yang cukup banyak, IPBS vakum selama kurang lebih tiga tahunan,
dan selama vakum tersebut tidak ada kegiatan kesenian di Bumiayu. Hingga pada
akhirnya tahun 2011, IPBS mengadakan pameran yang diadakan di stasiun Bumiayu.
Pameran ini bekerjasama dengan PT.KAI, dengan mengangkat tema “Sebuah Ekpresi Cinta Kereta Api”. Dalam
pameran ini setiap seniman diwajibkan, menampilkan salah satu karya dengan tema
kereta api. Dan karya-karya yang ditampilkan cukup bervariasi dengn penambahan
konsep karya tentang kereta api. Pameran ini hanya diikuti oleh para anggota
IPBS, tanpa mengundang para seniman di luar daerah, dikarenakan kurangnya
persiapan. Walaupun pameran tersebut kurang maksimal dalam persiapan, tetapi
mendapat sambutan yang cukup bagus dari masyarakat.
Liputan dari
media cetak tentang pameran seni lukis BumiArtyou.
Perkumpulan
seniman Bumiayu yang tergabung dalam IPBS, bisa dikatakan cukup aktif
mengadakan pameran seni rupa. pameran-pameran yang diadakan Alik Setiawan dan
kawan-kawannya, dilaksanakan secara mandiri tanpa bantuan dana dari pemerintah
setempat. Pendanaan
dalam pameran-pameran tersebut diperoleh dari sumbangan masyarakat Bumiayu dan
sponsor. Disini peran pemerintah daerah jelas kurang memperhatikan dunia
kesenian, khususnya seni rupa. Sebagai catatan saja, dari seluruh perkumpulan
yang pernah ada, mereka bergerak secara mandiri. Bantuan dana dari pemerintah
daerah tidak pernah sampai ke tangan penggiat seni, hal ini menjadi semacam
polemik antara para seniman dan pemerintah daerah. Dunia kesenian dikota
Bumiayu memang jauh dari apa yang diharapkan para penggiat seni. Pemerintah,
dalam hal ini adalah Dewan Kesenian Daerah (DKD) seolah kurang memperhatikan kegiatan
berkesenian.
Bumiayu, sebuah kota kecil di
ujung selatan kabupaten Brebes ternyata menyimpan sejarah tentang dunia seni.
Bumiayu memang tidak identik dengan dunia seni, imej yang melekat di kota tersebut adalah Kota Santri. Tetapi fakta
memang ada, ternyata kota kecil tersebut menyimpan insan-insan seni yang gigih
dalam memperjuangkan nilai-nilai kesenian. Ini ditandai dengan kemunculan
sanggar seni dan kelompok seni, yang tetap konsisten dengan mengibarkan
panji-panji kesenian mereka. Para penggiat seni mencoba mengenalkan seni rupa,
menggiatkan dunia kesenian dikota mereka, mencoba membuat pandangan baru dalam
berkesenian. Walaupun disisi lain komponen-komponen kesenian tidak mendukung
atau bahkan tidak ada, untuk dapat mendukung perjuangan mereka. Sehingga
seniman yang terbagung dalam kelompok seni tidak dapat mengekspresikan jiwa
seni mereka secara maksimal,dan bahkan kelompok seni tersebut berumur pendek.
Tetapi penulis yakin, bahwa seniman Bumiayu memang tidak kenal menyerah, tetap
semangat, dan terus bergerak untuk mewujudkan dan menyempurnakan nilai kesenimanannya. Dan berusaha membawa nama
daerahnya di kancah seni nasional atau bahkan internasional. Mungkin itu
sedikit catatan singkat tentang perjalanan para pelaku seni yang ada di
Bumiayu.
Salam
Budaya !!
Narasumber :
·
Bpk.Sudarsono.
·
Suyatno.
·
Heppy(kidung Setan Kober).
·
Haris “Agep” Zulfikar.
·
Lukman Aris.
Langganan:
Postingan (Atom)