Sejarah dan perkembangan kelompok
seni rupa di
Bumiayu.
Bumiayu adalah kota kecil
yang terletak di ujung selatan kabupaten Brebes, mayoritas penduduknya
berprofesi sebagai pedagang, petani dan buruh. Tetapi di balik semua itu
Bumiayu menyimpan potensi di bidang seni rupa. Kapan tepatnya gerakan seni rupa
itu muncul di Bumiayu? Secara historis memang tidak ada narasi yang jelas
tentang dunia kesenian. Tidak ada seniman atau hasil karya yang dapat menjadi
rujukan dalam pemetaan sejarah tersebut. Tetapi di Bumiayu wilayah barat, tumbuh
dan berkembang kerajinan produksi alat musik tradisional, yaitu rebana atau kencer dalam bahasa Bumiayu-an. Kita
tahu bahwa kota Bumiayu identik pula dengan nilai-nilai religiusnya, bumiayu
dimata orang asing terkenal dengan sebutan “Kota Santri”. Secara tidak langsung
keriligiusan tersebut membawa imbas dalam bidang kesenian yaitu seni musik
tradisional dan seni kerajinan. Pusat kerajinan alat musik tradisional tersebut
berada di desa Kaliwadas, disitu diproduksi alat tradisional dan modern.
Alat-alat yang di produksi antara lain , rebana, bedug, drum, guitar dan
lainnya.
Kapan tepatnya kemunculan
kesenian yang Islami di Bumiayu memang tidak diketahui
secara pasti karena keterbatasan dalam literatur. Apabila ditelusuri lebih jauh
kebudayaan tradisional religi ini memang tidak lahir murni di Indonesia, khususnya
kebudayaan dengan nuansa islami. Kesenian tradisional yang ada di Indonesia
adalah karena pengaruh dari bangsa asing. Hasil kerajinan tersebut mungkin di
pengaruhi kebudayaan Islam yang datang di nusantara. Menurut Buya Hamka, Islam
dibawa ke Indonesia oleh bangsa Arab dan masuk ke Indonesia pada abad ke-7.
Mengenai sejarah musik rebana, konon berasal dari Timur Tengah, di nusantara
seni rebana dibawa oleh para pedagang dari Arab yang tinggal di pesisir pantai
Indonesia. Hingga dalam perkembangannya alat tersebut bisa di produksi oleh
masyarakat pribumi.
Para anggota
Sanggar Karya Lestari berpose di depan karya pada saat pameran pembangunan di
Bumiayu.
Tetapi kemunculan pusat
kerajinan itu tidak dapat dijadikan
tolok ukur dalam pemetaan seni rupa di Bumiayu. Kesenian tersebut masuk dalam
kategori kesenian tradisional, walaupun kerajinan itu masuk dalam kategori seni
rupa, tetapi orientasinya lebih kepada mass
production bukan fine art. Maka
dari itu tidak masuk dalam kategori fine
art, di mana yang akan kita bahas di sini adalah seni rupa yang berbasiskan
seni murni, yaitu Seni Lukis, Seni Grafis, dan Seni Patung. Sebagai tonggak munculnya gerakan seni rupa modern di kota Bumiayu kira-kira di mulai pada kira-kira tahun
1983, ditandai dengan munculnya Sanggar Karya Lestari. Sanggar ini dipimpin
oleh Sudarsono yang menampung teman-teman yang mempunyai kemampuan dibidang
seni rupa khususnya seni lukis. Para anggotanya antara lain adalah Nurkholis,
Sobirin, Sutrisno (Alm), Slamet (Alm), Jumaris (Alm), Irfan, Junaedi dan
Suyatno. Sudarsono yang mempunyai latar belakang akademis di bidang seni rupa,
beliau pernah megeyam pendidikan seni rupa di Yogyakarta. Beliau belajar di SSRI (sekarang
SMSR),
mengambil jurusan seni rupa. Bermodalkan keahlian di bidang tersebut Sudarsono
memotivasi teman-teman untuk mendirikan perkumpulan atau wadah yang berfungsi
sebagai ajang kreatifitas seniman Bumiayu
pada waktu itu, maka di bentuklah Sanggar Karya Lestari.
Dengan demikian gerakan
seni rupa yang dipimpin oleh Sudarsono adalah termasuk dalam kategori seni rupa
modern. Menurut Sanento Yuliman dalam bukunya Dua Seni Rupa mengatakan bahwa yang dimaksud dengan seni rupa
modern Indonesia bukanlah lanjutan dan juga bukan transformasi seni
tradisional, baik seni tradisional salah satu maupun seluruh etnis di
Indonesia. Dengan demikian sudah jelas bahwa kemunculan Sanggar Karya Lestari,
lepas dari pengaruh dari kesenian tradisional yang ada di kota tersebut.
Sejak kemunculan sanggar
tersebut dunia kesenian di kota kecil tersebut menjadi produktif dan dinamis.
Dengan berbekal kemampuan otodidak yang dimiliki dari setiap anggotanya mereka
berkarya dengan penuh semangat. Karya-karya yang dihasilkan dari para anggotanya
bermacam aliran mulai dari Naturalisme, Dekoratif, Realistik, Kaligarfi, dan Ekspresionisme. Karya mereka masih
terpengaruh seniman-seniman besar Indonesia seperti Raden Saleh, Basuki
Abdulah, Affandi, Sudjojono, Amri Yahya, dan yang lainnya. Seniman yang
bernaung disanggar Karya Lestari cukup produktif dalam mengasilkan
karya-karyanya. Dengan segala kemampuan mereka melukis dengan meggunakan media
apa saja seperti pensil, pastel, konte, arang, dan cat minyak. Karya-karya yang
dihasilkan dari belajar bersama mempunyai karakter tersendiri, memang sebuah
karya seni mengekspresikan jiwa setiap senimannya. Sebagaimana yang dikatakan
Sudjojono “Kalau seorang seniman membuat barang kesenian, maka sebenarnya buah
kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian adalah
jiwa yang ketok , jadi kesenian
adalah jiwa”, Demikian statement yang diungkapkan oleh pendiri Persagi.
Salah satu event
pameran dari Sanggar Karya Lestari,
Tampak
ketua sanggar Bpk. Sudharsono (duduk) dan Nurkholis (bediri)
Tetapi proses berkesenian
mereka memang dipengaruhi oleh masyarakat sekitar yang masih awam dalam dunia
kesenian. Akibatnya karya yang dihasilkan masih sebatas realistik dan enak
untuk dilihat atau di nikmati. Karya-karya yang dihasilkan adalah jenis Lukis Potret, Lukisan Pemandangan, Lukisan Kaligrafi, dan Dekoratif. Secara teknik
memang sudah bagus dan artistik, namun secara konseptual mungkin masih ada
kekurangan. Kita tahu di dunia
kesenian ada beberapa konstruksi yang saling melengkapi
dan mengisi. Komponen yang pertama adalah seniman, masyarakat penyangga,
lembaga kesenian, kritikus dan media. Keberlangsungan sanggar tersebut memang
berjalan dengan komponen-komponen
kesenian tersebut. Tetapi dengan segala kekuatan dan energi, Sudarsono bersama
teman-temannya terus bergerak aktif mengadakan dan mengikuti pameran-pameran.
Kemunculan sanggar
tersebut membuat suasana yang berbeda di kota Bumiayu, ketika ada sebuah acara
atau kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah setempat, sanggar Karya lestari
ikut andil dalam perhelatan tersebut. Tetapi sanggar tersebut tidak hanya
pameran di dalam kota, tetapi merambah keluar seperti pameran di Purwokerto, dan
Brebes. Pada waktu itu memang kondisi dunia kesenian di Bumiayu tidak berjalan
mulus, sehingga para seniman Bumiayu yang tergabung dalam sanggar tersebut
hanya berpameran di kota-kota tetangga. Memang sungguh ironis ada sebuah
perkumpulan seniman yang mencoba membawa nama daerahnya, kurang begitu di
perhatikan oleh pemerintah setempat. Tetapi seniman-seniman yang bernaung di Sanggar
Karya Lestari mencoba untuk tetap eksis dalam berkesenian. Mereka terus
berkarya, menerima pesanan-pesanan lukisan, mendidik anak-anak di sanggar, dan
tetap berpameran. Selama eksisnya sanggar tersebut tidak ada pencapaian atau
prestasi yang membanggakan, sanggar tersebut hanya aktif di Bumiayu dan
kota-kota tetangganya. Menurut narasumber yaitu saudara Suyatno, Sanggar Karya
Lestari mulai non aktif pada tahun 1992. Bubarnya sanggar tersebut dipengaruhi
oleh banyak faktor, antara lain adalah karena kesibukan dari masing-masing
anggotanya, pemerintah setempat yang kurang mendukung, dan masalah eksternal
lainnya.
Suasana
keramaian pameran yang diadakan oleh Sanggar Karya Lestari.
Setelah bubarnya sanggar
tersebut dunia kesenian di Bumiayu mengalami kevakuman yang cukup lama. Kevakuman
tersebut membawa pengaruh yang cukup signifikan dunia kesenian di kota Bumiayu,
tidak ada kegiatan berkesenian yang membanggakan bagi masyarakat , mungkin
hanya pameran-pameran di tingkat sekolah. Kevakuman tersebut disikapi
seniman-seniman eks-sanggar Karya lestari untuk tetap berkarya, dengan
intensitas yang tidak begitu greget. Hingga pada akhir tahun 1999 muncul
perkumpulan anak muda Bumiayu, yang dipimpin pemuda yang bernama Heppy. Mereka
muncul ke publik dengan membawa panji-panji kesenian, dan menamakan perkumpulan
mereka dengan nama Sanggar Kulit. Dan para anggota awal yang bergabung dengan
sanggar ini antara lain Aji, Yono, Iqbal, dan Ferry Kemunculan Sanggar Kulit
yang di ketuai oleh Heppy tidak berjalan mulus, banyak masalah ekternal yang
menghampiri. Salah satunya adalah perselisihan antara sanggar dan pihak luar
yang ingin mengambil alih dan memanfaatkan. Hingga pada akhirnya kepemimpinan Sanggar
pindah tangan kepada Haris Zulfikar yang akrab disapa Agep, pemuda pendatang
yang juga aktif di seni rupa.
Hinga pada akhirnya
sanggar tersebut diberikan fasilitas berupa gedung dan seperangkat alat kesenian
oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah. Dan sanggar ini
menempati gedung milik Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, yang berlokasi di depan Rumah Sakit Bumiayu. Dengan
kemudahan yang didapat tersebut, seharusnya sanggar tersebut bisa aktif dan produktif
dalam berkesenian. Tetapi fasilitas itu tidak daimanfaatkan secara maksimal dan
orientasi dari perkumpulan tersebut lebih kepada seni pertunjukan atau parade
band. Anggota yang bergabung di sanggar ini mempunyai keahlian di bidang seni
lukis, musik, dan fotografi. Karya-karya dari anggotanya yang mempunyai
keahlian dalam melukis masih berorientasi kepada aliran Realistik, Naturalisme,
Kaligrafi, dan seni lukis potret. Mereka cukup aktif dalam berkarya dan pameran di Bumiayu , dan sering mengadakan acara
pertunjukan atau parade band.
Sanggar Kulit hanya sedikit
memberi warna dunia kesenian di kota Bumiayu, pameran-pameran mulai ada, acara-acara
pertujukan mulai ramai, dan kegiatan kesenian yang lain. Namun sangat
disayangkan Sanggar Kulit berumur pendek, sanggar tersebut mulai non aktif dan
bubar kira-kira pada tahun 2002. Munurut beberapa sumber, keberadaan sanggar
ini dimasuki oknum-oknum yang tidak berkompetensi di bidangnya. Mungkin ini
gambaran singkat dari perjalanan Sanggar Kulit yang singkat dan mungkin juga
penuh kontroversi.
Bumiayu kembali vakum dalam dunia kesenian, terutama seni rupanya.
Tetapi disisi lain, banyak komunitas-komunitas seni musik yang bermunculan. Ini
ditandai dengan banyaknya acara musik yang diadakan, banyaknya band-band yang
bermunculan, dan event organizer. Dunia seni rupa di kota
tersebut benar-benar vakum untuk waktu yang cukup lama. Para bekas anggota dari
kedua sanggar tersebut mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing, dalam hal
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Mungkin menurut pemikiran mereka, dunia
berkesenian di kota kecil tidak menjanjikan keuangan yang cukup, sehingga
mereka bekerja di luar seni. Hal ini dibuktikan oleh sebagian beberapa anggota
yang merantau ke ibukota, bekerja serabutan, dan berwirausaha. Tetapi tidak
dipungkiri sebagian dari mereka masih ada yang tetap berkarya dan berkesenian,
seperti yang dilakukan oleh Suyatno, Nurkholis, dan Agep.
Kevakuman dunia seni rupa
Bumiayu, setelah periode kedua sanggar tersebut berlangsung cukup lama
kira-kira lima tahunan. Tetapi di dalam diam itu ada pergerakan yang secara
pelan tapi pasti mulai menajamkan untuk muncul ke permukaan. Pergerakan yang
secara diam-diam itu di mulai oleh Lukman Aris dan Alik Setiawan. Kedua
pemuda itu mempuyai pemikiran yang baru dan cemerlang, mereka bermaksud
mendirikan perkumpulan yang menampung insan seni yang potensial. Dengan
semangat dan energi yang baru, mereka membentuk dan mendirikan perkumpulan yang
dinamakan Ikatan Pengembang Bakat Seni (IPBS). Kedua pemuda tersebut mempunyai
konsep menampung bakat seni dan mengembangkan dunia seni di Bumiayu, khususnya
seni rupa. Dan sebagai tempat untuk berkumpul dan berdiskusi tentang kesenian,
dipusatkan di toko souvenir Lukman Aris yang berlokasi di depan kantor Pegadaian
Bumiayu. Alik setiawan yang mempunyai latar belakang pendidikan seni rupa di
kampus ISI Yogyakarta, dipercaya oleh teman-teman sebagai leader dalam perkumpulan tersebut.
Pameran perdana
kelompok IPBS, dengan tajuk ” Freedom Expression on the Road”
Perkumpulan yang baru
terbentuk secara tidak sengaja mempertemukan dua generasi yang berbeda, yaitu
alumni sanggar Karya Lestari dan Sanggar Kulit. Nama-nama yang masuk dalam
perkumpulan ini antara lain Bpk. Sudarsono, Suyatno, Agep, (mewakili generasi tua),Alik Setiawan , Lukman
Aris, Martin Awom, Deny Aris Susanto, Muhamad Ali Sobah, Fery Jangkung,
Purwanto, Iwan K, Agus Pakujati, dan Bachtiar Fugara. Setelah terkumpul nama-nama
diatas maka, rencana kedepan dari perkumpulan ini adalah mengadakan pameran
sebagai bukti kepada publik. Dan sebagai bukti eksistensinya maka diadakan
pameran yang pertama dengan tema “Fredoom
Ekspression On The Road”. Pameran yang pertama dari IPBS dilaksanakan tidak
lazim seperti pameran pada umumnya. Dimana pameran ini digelar di trotoar jalan
raya, dengan perlengkapan seadanya dan mungkin tidak layak untuk dapat
dikatakan sebuah pameran. Kegiatan pameran tersebut cukup memberi kejutan bagi masyarakat Bumiayu, publik tidak menyangka
setelah beberapa tahun tidak ada kegiatan seni, tiba-tiba saja ada pameran
lukisan di trotoar yang tidak biasa bahkan mungkin belum pernah ada di Bumiayu.
Karya-karya yang ditampilkan dalam pameran ini antara lain Realistik, Naturalis, Dekoratif, Surealisme, Kaligrafi sampai Abstrak.
Pameran tersebut sebagai
sinyal akan bangkitnya dunia seni rupa di Bumiayu, walaupun masih kurang dari
layak. Dengan adanya pameran tesebut masyarakat Bumiayu beranggapan bahwa
seniman bumiayu memang masih ada dan mencoba untuk bangkit kembali dari tidur
panjangnya. Pada tahun 2007 bulan Agustus, IPBS mengadakan pameran lagi yang
diberi judul “Bumi Art You”. Pameran
yang kedua ini dilaksankan di trotoar lagi dengan konsep pameran yang berbobot
dan lebih baik. Pameran Bumi Art You
ini menampung karya seniman dari kota Bumiayu dan kota lainnya seperti dari
Banyumas, Temanggung, Yogyakarta, dan Jakarta. Dan pameran ini menampilkan
karya-karya dengan berbagai macam aliran, mulai dari Realis, Naturalis, Kaligrafi, Surealisme, Ekspresionisme, Abstrak hingga Kontemporer. Dengan
banyaknya jenis lukisan yang ditampilkan, secara tidak langsung memberikan
wawasan baru bagi masyarakat Bumiayu. Dan pameran ini cukup mendapat sambutan
hangat dari masyarakat, ini dibuktikan dengan ramainya apresiasi yang diberikan
oleh masyarakat.
Suasana pameran
BumiArtyou yang diadakan oleh IPBS.
Yang jadi pertanyaan,
kenapa IPBS mengadakan pameran di trotoar? Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor,
salah satunya adalah tidak adanya gedung kesenian di kota tersebut. Pemerintah
setempat seolah tutup mata terhadap acara-acara kesenian, terutama seni
rupanya. Faktor lainnya adalah apresiasi masyarakat Bumiayu masih sangat minim
terhadap seni rupa, sehingga pameran-pameran tersebut dilaksanakan di trotoar.
Sehingga diharapkan masyarakat dapat dengan mudah mengakses dan melihat
langsung, tanpa harus mengeluarkan biaya yang banyak. Memang dengan diadakan
pameran di trotoar tersebut, masyarakat dengan antusias mengapresiasi
karya-karya yang dipamerkan.
Sampai pada tahun-tahun
berikutnya, IPBS sering diundang untuk mengikuti pameran di acara Bumiayu Fair,
dengan mengisi stand dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah mengadakan
pameran-pameran yang cukup banyak, IPBS vakum selama kurang lebih tiga tahunan,
dan selama vakum tersebut tidak ada kegiatan kesenian di Bumiayu. Hingga pada
akhirnya tahun 2011, IPBS mengadakan pameran yang diadakan di stasiun Bumiayu.
Pameran ini bekerjasama dengan PT.KAI, dengan mengangkat tema “Sebuah Ekpresi Cinta Kereta Api”. Dalam
pameran ini setiap seniman diwajibkan, menampilkan salah satu karya dengan tema
kereta api. Dan karya-karya yang ditampilkan cukup bervariasi dengn penambahan
konsep karya tentang kereta api. Pameran ini hanya diikuti oleh para anggota
IPBS, tanpa mengundang para seniman di luar daerah, dikarenakan kurangnya
persiapan. Walaupun pameran tersebut kurang maksimal dalam persiapan, tetapi
mendapat sambutan yang cukup bagus dari masyarakat.
Liputan dari
media cetak tentang pameran seni lukis BumiArtyou.
Perkumpulan
seniman Bumiayu yang tergabung dalam IPBS, bisa dikatakan cukup aktif
mengadakan pameran seni rupa. pameran-pameran yang diadakan Alik Setiawan dan
kawan-kawannya, dilaksanakan secara mandiri tanpa bantuan dana dari pemerintah
setempat. Pendanaan
dalam pameran-pameran tersebut diperoleh dari sumbangan masyarakat Bumiayu dan
sponsor. Disini peran pemerintah daerah jelas kurang memperhatikan dunia
kesenian, khususnya seni rupa. Sebagai catatan saja, dari seluruh perkumpulan
yang pernah ada, mereka bergerak secara mandiri. Bantuan dana dari pemerintah
daerah tidak pernah sampai ke tangan penggiat seni, hal ini menjadi semacam
polemik antara para seniman dan pemerintah daerah. Dunia kesenian dikota
Bumiayu memang jauh dari apa yang diharapkan para penggiat seni. Pemerintah,
dalam hal ini adalah Dewan Kesenian Daerah (DKD) seolah kurang memperhatikan kegiatan
berkesenian.
Bumiayu, sebuah kota kecil di
ujung selatan kabupaten Brebes ternyata menyimpan sejarah tentang dunia seni.
Bumiayu memang tidak identik dengan dunia seni, imej yang melekat di kota tersebut adalah Kota Santri. Tetapi fakta
memang ada, ternyata kota kecil tersebut menyimpan insan-insan seni yang gigih
dalam memperjuangkan nilai-nilai kesenian. Ini ditandai dengan kemunculan
sanggar seni dan kelompok seni, yang tetap konsisten dengan mengibarkan
panji-panji kesenian mereka. Para penggiat seni mencoba mengenalkan seni rupa,
menggiatkan dunia kesenian dikota mereka, mencoba membuat pandangan baru dalam
berkesenian. Walaupun disisi lain komponen-komponen kesenian tidak mendukung
atau bahkan tidak ada, untuk dapat mendukung perjuangan mereka. Sehingga
seniman yang terbagung dalam kelompok seni tidak dapat mengekspresikan jiwa
seni mereka secara maksimal,dan bahkan kelompok seni tersebut berumur pendek.
Tetapi penulis yakin, bahwa seniman Bumiayu memang tidak kenal menyerah, tetap
semangat, dan terus bergerak untuk mewujudkan dan menyempurnakan nilai kesenimanannya. Dan berusaha membawa nama
daerahnya di kancah seni nasional atau bahkan internasional. Mungkin itu
sedikit catatan singkat tentang perjalanan para pelaku seni yang ada di
Bumiayu.
Salam
Budaya !!
Narasumber :
·
Bpk.Sudarsono.
·
Suyatno.
·
Heppy(kidung Setan Kober).
·
Haris “Agep” Zulfikar.
·
Lukman Aris.