Senin, 03 Februari 2014

Sepenggal Kisah dari Adisana

Ilustrasi Patung Petani, Oleh Alik Setiawan
Sepenggal Kisah dari Adisana

Apa yang terlintas di pikiran anda, ketika mendengar kata “Adisana”. Apakah yang terlintas di pikiran anda adalah sebuah desa di wilayah kecamatan Bumiayu yang identik dengan kekerasan. Apakah ada persepsi lain yang lebih baik tentang Adisana, misal desa Adisana identik dengan dunia pertanian. Atau esa Adisana identik dengan rel kereta api yang disitu terdapat Jembatan Sakalimalas. Memang pendapat seseorang mengenai Desa Adisana dapat berbeda-beda, semua itu dapat muncul dari pengalaman individu yang pernah mempunyai memori terhadap desa tersebut. Semua persepsi di atas memang di miliki oleh desa yang terletak di sebelah timur Bumiayu tersebut. Desa Adisana yang berbatasan langsung dengan desa Dukuhturi  dan Penggarutan di sebelah Barat dan dipisahkan oleh Sungai Keruh. Di sebelah Selatan berbatasan dengan desa Langkap, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan desa Cilibur. Di sebelah Utara berbatasan dengan desa Benda dan Sirampog.
Tetapi dari kebanyakan orang mengenal desa Adisana, adalah karena identik dengan keributan yang dilakukan oleh para pemudanya. Adisana tidak melulu identik dengan keributan, di balik semua itu terdapat jasa yang patut dikenang oleh masyarakat Bumiayu dan sekitarnya. Mungkin ada yang bertanya-tanya, kejadian seperti apa yang membuat desa Adisana berjasa. Di desa Adisana terdapat sebuah jembatan kereta api, yang menghubungkan antara desa tersebut dengan dukuh Talok Dukuhturi. Nah semua itu bermula dan dimulai sejarahnya di Jembatan Sakalimalas yang legendaris di kalangan masyarakat Bumiayu. Jembatan yang dibangun mulai kira-kira tahun 1915 era kolonial Belanda, sebagai jalur kereta di daerah wilayah tengah. Secara historis pemerintah kolonial membuat jalur kereta api, untuk kepentingan industri gula.

Foto Pembuatan Sakalimalas,koleksi Tropen museum, Belanda.



Di mana ini berkaitan dengan sejarah Kabupaten Brebes, pembuatan jalur kereta api awalnya sebagai penunjang indusrti gula di wilayah brebes. Kalau sepanjang pantai (utara) Kabupaten Brebes terlintas oleh jalur jalan kereta api, itu dahulu milik maskape (perkumpulan) Belanda : Semarang-Cheribon-Stoomstram Maatschaapij disingkat : S.C.S. Dan pembuatan jalur kereta di pesisir utara, murni untuk pendukung trasnportasi pengangkutan tebu ke pabrik. Adapun jalur jalan kereta api yang melintasi diagonal (sudut-menyudut) kawasan Kabupaten Brebes, jurusan Purwokerto-Cirebon, itu dahulu milik pemerintah Hindia Belanda, di sebut : Staats- Spoor, disingkat S.S. Mungkin dari kata Spoor inilah orang Jawa menyebut kereta api dengan kata Sepur. Jadi dari sini secara historis sudah jelas, jalur rel kereta api di bangun oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan yang berbeda.
 Rel kereta api jalur tengah tentunya melewati wilayah Bumiayu, yang secara geografis adalah wilayah pegunungan dan lembah yang banyak sungai. Sehingga bisa dipastikan pembuatan rel harus membelah bukit dan membuat jembatan-jembatan. Hal ini dapat dilihat di jalur kereta di wilayah Bumiayu, terdapat jembatan besar kereta api yaitu jembatan Kali Pucung di Kalijurang dan jembatan Sakalimalas di Adisana. Dalam penulisan Artikel ini akan difokuskan pada salah satu peristiwa yang patut dikenang. Yaitu suatu peristiwa yang terjadi di jembatan Sakalimalas, dan melibatkan masyarakat Adisana yang heroik.
Jembatan Sakalimalas yang secara etimologis berasal dari bahasa Jawa. Yaitu dari kata Saka yang artinya tiang, pilar, penyangga dan limalas yang menunjuk pada jumlah angka yaitu lima belas. Jadi jembatan Sakalimalas sebagaimana kita tahu memang mempunyai tiang penyangga berjumlah 15(limabelas). Maka dari itu setelah jadi dan berdiri kokoh, jembatan tersebut dinamakan Sakalimalas. Jembatan tersebut membentang di tengah Kali Keruh, dan menghubungkan antara dukuh Talok dan desa Adisana. Karena Kali Keruh merupakan salah satu sungai tebesar di wilayah Bumiayu, maka dari itu jembatan Sakalimalas mempunyai tiang yang cukup banyak supaya kuat dan kokoh. Kali Keruh yang besar dan berarus deras, dapat menjadi ancaman bagi jembatan Sakalimalas. Dari cerita para orang tua yang kadang dibumbui mistis, Kali keruh ketika banjir memang dapat menghanyutkan apa saja. Hal ini memang terbukti dari keganasan Kali Keruh, dapat merobohkan satu tiang dari jembatan Sakalimalas.
Ilustrasi Penyelamatan Kereta Api Oleh Warga Adisana.
Peristiwa robohnya salah satu tiang dari Sakalimalas, terjadi pada tanggal 8 Maret 1972. Tanggal kejadian tersebut dapat ditelusuri pada prasasti yang dapat dilihat di tembok SD Adisana I(SD Jaya). Waktu itu terjadi hujan yang sangat lebat dengan intensitas yang cukup lama, sehingga mengakibatkan Kali Keruh banjir. Hujan pada waktu siang sampai sore mengakibatkan Kali Keruh Banjir besar. Akibat arus yang cukup deras dan banjir yang cukup lama, mengakibatkan salah satu saka jembatan Sakalimalas roboh. Menurut cerita dari nara sumber yaitu bapak Agus Taufik, robohnya jembatan tersebut terjadi sekitar pukul tiga sore. Kebiasaan masyarakat desa Adisana, ketika Kali Keruh banjir besar selalu menengok atau menyaksikan banjir tersebut. Dari dulu Kali Keruh memang terkenal akan banjir besarnya, yang sering menghancurkan dan membuat desa-desa di pingiran kalikeruh harus waspada.
Akibat dari banjir tersebut maka salah satu tiang Sakalimalas roboh, dan tak lama kemudian diketahui oleh masyarakat Adisana. Masih menurut Bapak Agus Taufik, setelah di ketahui tiang itu roboh, beberapa perwakilan dari warga Adisana melaporkan ke pihak terkait. Pelaporan kejadian tersebut ke pihak kepolisian dan Stasiun Bumiayu. Tak lama setelah kejadian robohnya tiang tersebut, warga Adisana langsung menyaksikan dan menuju ke TKP, ingin melihat langsung bagaimana kondisi dari jembatan Sakalimalas. Menurut cerita narasumber tiang itu ambruk dan terpotong menjadi tiga bagian. Warga Adisana memenuhi tempat kejadian sekitar jembatan. Waktu itu gerimis masih turun, rel kereta api dipenuhi oleh warga yang ingin menyaksikan.

Prasasti Tentang Kejadian Runtuhnya Jembatan Sakalimalas.
Mengetahui jembatan Sakalimalas terpotong, warga Adisana jiwa heroiknya muncul dan bersiaga menghentikan jika ada kereta yang akan melintas. Warga Adisana memenuhi sepanjang rel kereta yang melewati pinggir desa tersebut. Rel kereta dipenuh warga dari mulai sebalah jembatan sampai ujung timur. Tak berapa lama dari arah timur muncul kereta api bisnis, dan warga mulai beraksi mencoba memberikan kode peringatan dan teriakan-teriakan supaya kereta tersebut berhenti. Menurut cerita dari narasumber, pada mulanya kereta masih terus berjalan namun sudah melambat. Masinis dari kereta tersebut masih belum percaya dengan adanya kejadian tersebut. Masinis kereta baru percaya ketika ada warga yang secara sigap naik ke kereta yang berjalan lambat, dan memberi informasi langsung kepada masinis tersebut.
Setelah itu kereta tersebut berhenti di desa Adisana sebalah timur sebelum jembatan, tepatnya di sekitar Dukuh Mingklik Adisana. Masinis kereta tersebut kemudian turun dan meninjau langsung jembatan Sakalimalas yang roboh. Masih menurut cerita dari narasumber, ternyata gerbong kereta tersebut mengangkut para ABRI. Jadi kereta yang melintas tersebut membawa tentara atau TNI, bukan penumpang biasa. Setelah berhenti di Adisana, kereta yang membawa rombongan TNI tersebut mundur sampai ke stasiun Kretek Paguyangan. Melihat situasi jembatan yang tidak bisa dilalui, maka rombongan tersebut dilimpahkan menggunakan bis. Dapat dibayangkan jika kereta tersebut lewat maka akan terjun bebas ke Kali Keruh, berapa banyak nyawa yang akan melayang. Tidak diketahui mengapa kereta tersebut tetap lewat, padahal warga sudah melaporkan ke pihak stasiun. Mungkin karena jeda peristiwa ambruknya tiang dan lewatnya kereta tersebut cukup singkat. Sehingga tidak ada persiapan dari pihak stasiun, atau karena mungkin peralatan komunikasi perkeretapian terganggu akibat Sakalimalas ambruk.
Akibat jembatan Sakalimalas yang terbelah, maka aktivitas perjalanan kereta api di jalur tengah lumpuh total. Sebagiamana kita tahu, kejadian atau bencana yang besar mengundang rasa penasaran dari seseorang. Tak terkecuali robohnya tiang Sakalimalas mengundang rasa penasaran warga Bumiayu dan sekitarnya untuk menyaksikan langsung. Setelah tersiar kabar jembatan Sakalimalas ambruk, maka masyarakat Bumiayu dan sekitarnya antusias menyaksikan dan mengabadikannya dengan foto. Pada tahun tersebut hanya beberapa yang mempunyai kamera foto, maka dari itu untuk arsip visual dari kejadian tersebut sangat sulit dicari. Kemungkinan ada di kabupaten atau di arsip pusat perkeretaapian. Tetapi menurut cerita dari narasumer, banyak warga di Kecamatan Bumiayu bahkan dari luar Bumiayu seperti Ajibarang, menyaksikan langsung runtuhnya tiang Sakalimalas. Memang secara visual Sakalimalas mempunyai bentuk yang monumental, sehingga banyak menyita perhatian. 
Peristiwa ambruknya jembatan tersebut segera ditindaklanjuti oleh pemerintah, dalam hal ini adalah oleh Kementrian Perhubungan dan PT. Kereta Api Indonesia. Perbaikan segera dilaksanakan guna menunjang kelancaran transportasi darat. Perbaikan salah satu tiang tersebut, memakan waktu cukup lama sekitar tiga bulanan. Jadi selama proses perbaikan tersebut, jalur tersebut lumpuh total. Perbaikan salah satu tiang tersebut, tidak seperti bentuk yang semula tetapi diganti dengan bahan baku rangka baja. Ini dapat dilihat pada struktur jembatan Sakalimalas sekarang, dan bahkan sekarang pemandangan jembatan legendaris tersebut sudah berbeda. Sudah terdapat satu jembatan di sebelahnya, karena penambahan satu jalur menjadi dua jalur rel.
Setelah jembatan Sakalimalas selesai di perbaiki dan diganti dengan tiang rangka baja. Kemudian jembatan tersebut diresmikan oleh menteri perhubungan, yang pada waktu itu menjabat adalah Frans Seda. Peresmian jembatan Sakalimalas bersamaan dengan diresmikannya SD Adisana I(SD Jaya). Peresmian tersebut pada tanggal 16 Juni 1972, dan upacara peresmian tersebut berlangsung di halaman SD Adisana I. Menurut cerita dari Bapak Agus Taufik, peresmian tersebut berlangsung meriah dan ramai, terdapat layos dan panggung untuk acara seremonial. Jadi sebagai wujud dedikasi dan terimakasih kepada warga Adisana juga rakyat Bumiayu, maka pemerintah menganugerhkan Sekolah Dasar (SD). Sekolah Dasar tersebut merupakan sekolah pertama di kelurahan Adisana. Dan untuk ukuran tahun itu, sekolah tersebut merupakan Sekolas Dasar, yang secara infrastruktur sudah bagus dan baik di wilayah kecamatan Bumiayu.     

Prasasti Peresmian Jembatan Sekaligus Peresmian SD Adisana I, Oleh Menteri Perhubungan Frans Seda Tahun 1972.
Warga Adisana dalam peresmian itu, dijamu dengan makan-makanan yang serba enak dan mewah (untuk ukuran pada tahun itu). Pada waktu peresmian tersebut PT. K.A.I, sengaja membawa makanan dengan kereta khusus untuk masyarakat Adisana. Dan kereta yang membawa makanan tersebut, berhenti tepat di samping SD Adisana I, bukan di Stasiun Bumiayu. Warga Adisana menikmati jamuan makan yang untuk ukuran tahun itu tergolong mewah dan istimewa. Warga dapat menikmati makanan dan minuman yang belum pernah dirasakannya. Makanan dan minuman kaleng yang istimewa dapat dinikmati gratis oleh warga Adisana. Seperti misalnya minuman berkarbonasi merk Sprite, minuman tersebut baru dirasakan warga Adisana pada waktu peresmian tersebut. Di mana pada waktu itu ekonomi bangsa dan penyebaran kemakmuran belum merata, sehingga untuk dapat menikmati makanan atau barang-barang yang mewah cukup sulit.
Itulah peristiwa yang heroik dari masyarakat Adisana, tentang ambruknya salah satu tiang jembatan Sakalimalas. Dengan kesadaran tinggi dan semangat kebersamaan, warga Adisana berusaha mengentikan laju kereta api yang membawa rombongan tentara. Dan sebagai bentuk dedikasi, pemerintah menganugerahkan Sekolah Dasar (SD), selain itu juga di buat patung sebagai peringatan akan penyelamatan kereta api tersebut. Patung tersebut sebagai bentuk simbolis penyelamatan yang dilakukan warga. Sosok patung tersebut merupakan pak tani yang telanjang dada dengan membawa cangkul di pundaknya. Dan tangan kanan Pak Tani diangkat ke atas sembari memegang baju dan melambai-lambaikannya, sebagai isyarat untuk menghentikan laju kereta api. Patung tersebut dulu letaknya di samping SD Adisana I dan menghadap ke timur. Tetapi patung Pak Tani tersebut sekarang sudah tidak ada, roboh dan termakan usia. Dari sudut pandang semiotika, patung tersebut menandakan masyarakat Adisana yang mayoritas dulu sebagai petani. Sedangkan gestur dari patung pak tani tersebut, menandakan sikap yang berusaha memberi sinyal bahaya kepada kereta api yang melaju.

Foto Dokumentasi dari Narasumber Bapak Agus Taufik, Pembangunan Kembali Jembatan Sakalimalas dengan Rangka Tiang Baja (tampak di background)
Cerita tentang robohnya salah satu tiang Sakalimalas, masih dapat didengar dari para orang tua yang tinggal di lingkungan desa Adisana. Penulisan artikel ini sebagai bentuk kepedulian Komunitas Pecinta Sejarah Bumiayu (Kompas Boemi). Yang kedepannya berusaha menacatat peristiwa-peristiwa dan tempat bersejarah di lingkungan kecamatan  Bumiayu. Penulisan ini sebagai bentuk stimulus untuk dapat memicu, kepedulian kawan-kawan dari komunitas untuk dapat melestarikan sejarah di Bumiayu dan sekitarnya. Melalui fotografi, artikel, video atau bentuk lainnya cerita sejarah atau tempat bersejarah dapat dilestarikan. Dan untuk melengkapi penulisan artikel ini, maka dibuatkan ilustrasi sebagai pelengkap visual tentang kejadian robohnya tiang jemabatan Sakalimalas. Ilustrasi ini dibuat karena keterbatasan sumber visual, semoga saja dapat menggambarkan peristiwa yang sesungguhnya. Semoga tulisan ini dapat memberikan informasi yang menarik kepada teman-teman Kompas Boemi.

Referensi :
·         Sejarah Kabupaten Brebes, Pemkab Brebes, 2011.
·         Tropen Museum.nl
·         Narasumber Bpk. Agus Taufik.





Senin, 27 Januari 2014

Sejarah dan perkembangan kelompok seni rupa di Bumiayu.


Sejarah dan perkembangan kelompok seni rupa di Bumiayu.
Bumiayu adalah kota kecil yang terletak di ujung selatan kabupaten Brebes, mayoritas penduduknya berprofesi sebagai pedagang, petani dan buruh. Tetapi di balik semua itu Bumiayu menyimpan potensi di bidang seni rupa. Kapan tepatnya gerakan seni rupa itu muncul di Bumiayu? Secara historis memang tidak ada narasi yang jelas tentang dunia kesenian. Tidak ada seniman atau hasil karya yang dapat menjadi rujukan dalam pemetaan sejarah tersebut. Tetapi di Bumiayu wilayah barat, tumbuh dan berkembang kerajinan produksi alat musik tradisional, yaitu rebana atau kencer dalam bahasa Bumiayu-an. Kita tahu bahwa kota Bumiayu identik pula dengan nilai-nilai religiusnya, bumiayu dimata orang asing terkenal dengan sebutan “Kota Santri”. Secara tidak langsung keriligiusan tersebut membawa imbas dalam bidang kesenian yaitu seni musik tradisional dan seni kerajinan. Pusat kerajinan alat musik tradisional tersebut berada di desa Kaliwadas, disitu diproduksi alat tradisional dan modern. Alat-alat yang di produksi antara lain , rebana, bedug, drum, guitar dan lainnya.
Kapan tepatnya kemunculan kesenian yang Islami di Bumiayu  memang tidak diketahui secara pasti karena keterbatasan dalam literatur. Apabila ditelusuri lebih jauh kebudayaan tradisional religi ini memang tidak lahir murni di Indonesia, khususnya kebudayaan dengan nuansa islami. Kesenian tradisional yang ada di Indonesia adalah karena pengaruh dari bangsa asing. Hasil kerajinan tersebut mungkin di pengaruhi kebudayaan Islam yang datang di nusantara. Menurut Buya Hamka, Islam dibawa ke Indonesia oleh bangsa Arab dan masuk ke Indonesia pada abad ke-7. Mengenai sejarah musik rebana, konon berasal dari Timur Tengah, di nusantara seni rebana dibawa oleh para pedagang dari Arab yang tinggal di pesisir pantai Indonesia. Hingga dalam perkembangannya alat tersebut bisa di produksi oleh masyarakat pribumi.
Para anggota Sanggar Karya Lestari berpose di depan karya pada saat pameran pembangunan di Bumiayu.
Tetapi kemunculan pusat kerajinan  itu tidak dapat dijadikan tolok ukur dalam pemetaan seni rupa di Bumiayu. Kesenian tersebut masuk dalam kategori kesenian tradisional, walaupun kerajinan itu masuk dalam kategori seni rupa, tetapi orientasinya lebih kepada mass production bukan fine art. Maka dari itu tidak masuk dalam kategori fine art, di mana yang akan kita bahas di sini adalah seni rupa yang berbasiskan seni murni, yaitu Seni Lukis, Seni Grafis, dan Seni Patung. Sebagai tonggak munculnya gerakan seni rupa modern di kota Bumiayu kira-kira di mulai pada kira-kira tahun 1983, ditandai dengan munculnya Sanggar Karya Lestari. Sanggar ini dipimpin oleh Sudarsono yang menampung teman-teman yang mempunyai kemampuan dibidang seni rupa khususnya seni lukis. Para anggotanya antara lain adalah Nurkholis, Sobirin, Sutrisno (Alm), Slamet (Alm), Jumaris (Alm), Irfan, Junaedi dan Suyatno. Sudarsono yang mempunyai latar belakang akademis di bidang seni rupa, beliau pernah megeyam pendidikan seni rupa di Yogyakarta. Beliau belajar di SSRI (sekarang SMSR), mengambil jurusan seni rupa. Bermodalkan keahlian di bidang tersebut Sudarsono memotivasi teman-teman untuk mendirikan perkumpulan atau wadah yang berfungsi sebagai ajang kreatifitas seniman Bumiayu  pada waktu itu, maka di bentuklah Sanggar Karya Lestari.
Dengan demikian gerakan seni rupa yang dipimpin oleh Sudarsono adalah termasuk dalam kategori seni rupa modern. Menurut Sanento Yuliman dalam bukunya Dua Seni Rupa mengatakan bahwa yang dimaksud dengan seni rupa modern Indonesia bukanlah lanjutan dan juga bukan transformasi seni tradisional, baik seni tradisional salah satu maupun seluruh etnis di Indonesia. Dengan demikian sudah jelas bahwa kemunculan Sanggar Karya Lestari, lepas dari pengaruh dari kesenian tradisional yang ada di kota tersebut.
Sejak kemunculan sanggar tersebut dunia kesenian di kota kecil tersebut menjadi produktif dan dinamis. Dengan berbekal kemampuan otodidak yang dimiliki dari setiap anggotanya mereka berkarya dengan penuh semangat. Karya-karya yang dihasilkan dari para anggotanya bermacam aliran mulai dari Naturalisme, Dekoratif, Realistik, Kaligarfi, dan Ekspresionisme. Karya mereka masih terpengaruh seniman-seniman besar Indonesia seperti Raden Saleh, Basuki Abdulah, Affandi, Sudjojono, Amri Yahya, dan yang lainnya. Seniman yang bernaung disanggar Karya Lestari cukup produktif dalam mengasilkan karya-karyanya. Dengan segala kemampuan mereka melukis dengan meggunakan media apa saja seperti pensil, pastel, konte, arang, dan cat minyak. Karya-karya yang dihasilkan dari belajar bersama mempunyai karakter tersendiri, memang sebuah karya seni mengekspresikan jiwa setiap senimannya. Sebagaimana yang dikatakan Sudjojono “Kalau seorang seniman membuat barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian adalah jiwa yang ketok , jadi kesenian adalah jiwa”, Demikian statement yang diungkapkan oleh pendiri Persagi.

Salah satu event pameran dari Sanggar Karya Lestari,
Tampak ketua sanggar Bpk. Sudharsono (duduk) dan Nurkholis (bediri)
Tetapi proses berkesenian mereka memang dipengaruhi oleh masyarakat sekitar yang masih awam dalam dunia kesenian. Akibatnya karya yang dihasilkan masih sebatas realistik dan enak untuk dilihat atau di nikmati. Karya-karya yang dihasilkan adalah jenis Lukis Potret, Lukisan Pemandangan, Lukisan Kaligrafi, dan Dekoratif. Secara teknik memang sudah bagus dan artistik, namun secara konseptual mungkin masih ada kekurangan. Kita tahu  di dunia kesenian  ada beberapa konstruksi yang saling melengkapi dan mengisi. Komponen yang pertama adalah seniman, masyarakat penyangga, lembaga kesenian, kritikus dan media. Keberlangsungan sanggar tersebut memang berjalan dengan komponen-komponen kesenian tersebut. Tetapi dengan segala kekuatan dan energi, Sudarsono bersama teman-temannya terus bergerak aktif mengadakan dan mengikuti pameran-pameran.
Kemunculan sanggar tersebut membuat suasana yang berbeda di kota Bumiayu, ketika ada sebuah acara atau kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah setempat, sanggar Karya lestari ikut andil dalam perhelatan tersebut. Tetapi sanggar tersebut tidak hanya pameran di dalam kota, tetapi merambah keluar seperti pameran di Purwokerto, dan Brebes. Pada waktu itu memang kondisi dunia kesenian di Bumiayu tidak berjalan mulus, sehingga para seniman Bumiayu yang tergabung dalam sanggar tersebut hanya berpameran di kota-kota tetangga. Memang sungguh ironis ada sebuah perkumpulan seniman yang mencoba membawa nama daerahnya, kurang begitu di perhatikan oleh pemerintah setempat. Tetapi seniman-seniman yang bernaung di Sanggar Karya Lestari mencoba untuk tetap eksis dalam berkesenian. Mereka terus berkarya, menerima pesanan-pesanan lukisan, mendidik anak-anak di sanggar, dan tetap berpameran. Selama eksisnya sanggar tersebut tidak ada pencapaian atau prestasi yang membanggakan, sanggar tersebut hanya aktif di Bumiayu dan kota-kota tetangganya. Menurut narasumber yaitu saudara Suyatno, Sanggar Karya Lestari mulai non aktif pada tahun 1992. Bubarnya sanggar tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain adalah karena kesibukan dari masing-masing anggotanya, pemerintah setempat yang kurang mendukung, dan masalah eksternal lainnya.
Suasana keramaian pameran yang diadakan oleh Sanggar Karya Lestari.
Setelah bubarnya sanggar tersebut dunia kesenian di Bumiayu mengalami kevakuman yang cukup lama. Kevakuman tersebut membawa pengaruh yang cukup signifikan dunia kesenian di kota Bumiayu, tidak ada kegiatan berkesenian yang membanggakan bagi masyarakat , mungkin hanya pameran-pameran di tingkat sekolah. Kevakuman tersebut disikapi seniman-seniman eks-sanggar Karya lestari untuk tetap berkarya, dengan intensitas yang tidak begitu greget. Hingga pada akhir tahun 1999 muncul perkumpulan anak muda Bumiayu, yang dipimpin pemuda yang bernama Heppy. Mereka muncul ke publik dengan membawa panji-panji kesenian, dan menamakan perkumpulan mereka dengan nama Sanggar Kulit. Dan para anggota awal yang bergabung dengan sanggar ini antara lain Aji, Yono, Iqbal, dan Ferry Kemunculan Sanggar Kulit yang di ketuai oleh Heppy tidak berjalan mulus, banyak masalah ekternal yang menghampiri. Salah satunya adalah perselisihan antara sanggar dan pihak luar yang ingin mengambil alih dan memanfaatkan. Hingga pada akhirnya kepemimpinan Sanggar pindah tangan kepada Haris Zulfikar yang akrab disapa Agep, pemuda pendatang yang juga aktif di seni rupa.
Hinga pada akhirnya sanggar tersebut diberikan fasilitas berupa gedung dan seperangkat alat kesenian oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah. Dan sanggar ini menempati gedung milik Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, yang berlokasi di depan Rumah Sakit Bumiayu. Dengan kemudahan yang didapat tersebut, seharusnya sanggar tersebut bisa aktif dan produktif dalam berkesenian. Tetapi fasilitas itu tidak daimanfaatkan secara maksimal dan orientasi dari perkumpulan tersebut lebih kepada seni pertunjukan atau parade band. Anggota yang bergabung di sanggar ini mempunyai keahlian di bidang seni lukis, musik, dan fotografi. Karya-karya dari anggotanya yang mempunyai keahlian dalam melukis masih berorientasi kepada aliran Realistik, Naturalisme, Kaligrafi, dan seni lukis potret. Mereka cukup aktif  dalam berkarya dan pameran di Bumiayu , dan sering mengadakan acara pertunjukan atau parade band.
Sanggar Kulit hanya sedikit memberi warna dunia kesenian di kota Bumiayu, pameran-pameran mulai ada, acara-acara pertujukan mulai ramai, dan kegiatan kesenian yang lain. Namun sangat disayangkan Sanggar Kulit berumur pendek, sanggar tersebut mulai non aktif dan bubar kira-kira pada tahun 2002. Munurut beberapa sumber, keberadaan sanggar ini dimasuki oknum-oknum yang tidak berkompetensi di bidangnya. Mungkin ini gambaran singkat dari perjalanan Sanggar Kulit yang singkat dan mungkin juga penuh kontroversi.
Bumiayu kembali vakum  dalam dunia kesenian, terutama seni rupanya. Tetapi disisi lain, banyak komunitas-komunitas seni musik yang bermunculan. Ini ditandai dengan banyaknya acara musik yang diadakan, banyaknya band-band yang bermunculan, dan event organizer. Dunia seni rupa di kota tersebut benar-benar vakum untuk waktu yang cukup lama. Para bekas anggota dari kedua sanggar tersebut mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing, dalam hal pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Mungkin menurut pemikiran mereka, dunia berkesenian di kota kecil tidak menjanjikan keuangan yang cukup, sehingga mereka bekerja di luar seni. Hal ini dibuktikan oleh sebagian beberapa anggota yang merantau ke ibukota, bekerja serabutan, dan berwirausaha. Tetapi tidak dipungkiri sebagian dari mereka masih ada yang tetap berkarya dan berkesenian, seperti yang dilakukan oleh Suyatno, Nurkholis, dan Agep.
Kevakuman dunia seni rupa Bumiayu, setelah periode kedua sanggar tersebut berlangsung cukup lama kira-kira lima tahunan. Tetapi di dalam diam itu ada pergerakan yang secara pelan tapi pasti mulai menajamkan untuk muncul ke permukaan. Pergerakan yang secara diam-diam itu di mulai oleh Lukman Aris dan Alik Setiawan. Kedua pemuda itu mempuyai pemikiran yang baru dan cemerlang, mereka bermaksud mendirikan perkumpulan yang menampung insan seni yang potensial. Dengan semangat dan energi yang baru, mereka membentuk dan mendirikan perkumpulan yang dinamakan Ikatan Pengembang Bakat Seni (IPBS). Kedua pemuda tersebut mempunyai konsep menampung bakat seni dan mengembangkan dunia seni di Bumiayu, khususnya seni rupa. Dan sebagai tempat untuk berkumpul dan berdiskusi tentang kesenian, dipusatkan di toko souvenir Lukman Aris yang berlokasi di depan kantor Pegadaian Bumiayu. Alik setiawan yang mempunyai latar belakang pendidikan seni rupa di kampus ISI Yogyakarta, dipercaya oleh teman-teman sebagai leader dalam perkumpulan tersebut.
Pameran perdana kelompok IPBS, dengan tajuk ” Freedom Expression on the Road”
Perkumpulan yang baru terbentuk secara tidak sengaja mempertemukan dua generasi yang berbeda, yaitu alumni sanggar Karya Lestari dan Sanggar Kulit. Nama-nama yang masuk dalam perkumpulan ini antara lain Bpk. Sudarsono, Suyatno, Agep, (mewakili generasi tua),Alik Setiawan , Lukman Aris, Martin Awom, Deny Aris Susanto, Muhamad Ali Sobah, Fery Jangkung, Purwanto, Iwan K, Agus Pakujati, dan Bachtiar Fugara. Setelah terkumpul nama-nama diatas maka, rencana kedepan dari perkumpulan ini adalah mengadakan pameran sebagai bukti kepada publik. Dan sebagai bukti eksistensinya maka diadakan pameran yang pertama dengan tema “Fredoom Ekspression On The Road”. Pameran yang pertama dari IPBS dilaksanakan tidak lazim seperti pameran pada umumnya. Dimana pameran ini digelar di trotoar jalan raya, dengan perlengkapan seadanya dan mungkin tidak layak untuk dapat dikatakan sebuah pameran. Kegiatan pameran tersebut cukup memberi kejutan bagi  masyarakat Bumiayu, publik tidak menyangka setelah beberapa tahun tidak ada kegiatan seni, tiba-tiba saja ada pameran lukisan di trotoar yang tidak biasa bahkan mungkin belum pernah ada di Bumiayu. Karya-karya yang ditampilkan dalam pameran ini antara lain Realistik, Naturalis, Dekoratif, Surealisme, Kaligrafi sampai Abstrak.
Pameran tersebut sebagai sinyal akan bangkitnya dunia seni rupa di Bumiayu, walaupun masih kurang dari layak. Dengan adanya pameran tesebut masyarakat Bumiayu beranggapan bahwa seniman bumiayu memang masih ada dan mencoba untuk bangkit kembali dari tidur panjangnya. Pada tahun 2007 bulan Agustus, IPBS mengadakan pameran lagi yang diberi judul “Bumi Art You”. Pameran yang kedua ini dilaksankan di trotoar lagi dengan konsep pameran yang berbobot dan lebih baik. Pameran Bumi Art You ini menampung karya seniman dari kota Bumiayu dan kota lainnya seperti dari Banyumas, Temanggung, Yogyakarta, dan Jakarta. Dan pameran ini menampilkan karya-karya dengan berbagai macam aliran, mulai dari Realis, Naturalis, Kaligrafi, Surealisme, Ekspresionisme, Abstrak hingga Kontemporer. Dengan banyaknya jenis lukisan yang ditampilkan, secara tidak langsung memberikan wawasan baru bagi masyarakat Bumiayu. Dan pameran ini cukup mendapat sambutan hangat dari masyarakat, ini dibuktikan dengan ramainya apresiasi yang diberikan oleh masyarakat.

Suasana pameran BumiArtyou yang diadakan oleh IPBS.
Yang jadi pertanyaan, kenapa IPBS mengadakan pameran di trotoar? Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah tidak adanya gedung kesenian di kota tersebut. Pemerintah setempat seolah tutup mata terhadap acara-acara kesenian, terutama seni rupanya. Faktor lainnya adalah apresiasi masyarakat Bumiayu masih sangat minim terhadap seni rupa, sehingga pameran-pameran tersebut dilaksanakan di trotoar. Sehingga diharapkan masyarakat dapat dengan mudah mengakses dan melihat langsung, tanpa harus mengeluarkan biaya yang banyak. Memang dengan diadakan pameran di trotoar tersebut, masyarakat dengan antusias mengapresiasi karya-karya yang dipamerkan.
Sampai pada tahun-tahun berikutnya, IPBS sering diundang untuk mengikuti pameran di acara Bumiayu Fair, dengan mengisi stand dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah mengadakan pameran-pameran yang cukup banyak, IPBS vakum selama kurang lebih tiga tahunan, dan selama vakum tersebut tidak ada kegiatan kesenian di Bumiayu. Hingga pada akhirnya tahun 2011, IPBS mengadakan pameran yang diadakan di stasiun Bumiayu. Pameran ini bekerjasama dengan PT.KAI, dengan mengangkat tema “Sebuah Ekpresi Cinta Kereta Api”. Dalam pameran ini setiap seniman diwajibkan, menampilkan salah satu karya dengan tema kereta api. Dan karya-karya yang ditampilkan cukup bervariasi dengn penambahan konsep karya tentang kereta api. Pameran ini hanya diikuti oleh para anggota IPBS, tanpa mengundang para seniman di luar daerah, dikarenakan kurangnya persiapan. Walaupun pameran tersebut kurang maksimal dalam persiapan, tetapi mendapat sambutan yang cukup bagus dari masyarakat.

Liputan dari media cetak tentang pameran seni lukis BumiArtyou.
Perkumpulan seniman Bumiayu yang tergabung dalam IPBS, bisa dikatakan cukup aktif mengadakan pameran seni rupa. pameran-pameran yang diadakan Alik Setiawan dan kawan-kawannya, dilaksanakan secara mandiri tanpa bantuan dana dari pemerintah setempat. Pendanaan dalam pameran-pameran tersebut diperoleh dari sumbangan masyarakat Bumiayu dan sponsor. Disini peran pemerintah daerah jelas kurang memperhatikan dunia kesenian, khususnya seni rupa. Sebagai catatan saja, dari seluruh perkumpulan yang pernah ada, mereka bergerak secara mandiri. Bantuan dana dari pemerintah daerah tidak pernah sampai ke tangan penggiat seni, hal ini menjadi semacam polemik antara para seniman dan pemerintah daerah. Dunia kesenian dikota Bumiayu memang jauh dari apa yang diharapkan para penggiat seni. Pemerintah, dalam hal ini adalah Dewan Kesenian Daerah (DKD) seolah kurang memperhatikan kegiatan berkesenian.
Bumiayu, sebuah kota kecil di ujung selatan kabupaten Brebes ternyata menyimpan sejarah tentang dunia seni. Bumiayu memang tidak identik dengan dunia seni, imej yang melekat di kota tersebut adalah Kota Santri. Tetapi fakta memang ada, ternyata kota kecil tersebut menyimpan insan-insan seni yang gigih dalam memperjuangkan nilai-nilai kesenian. Ini ditandai dengan kemunculan sanggar seni dan kelompok seni, yang tetap konsisten dengan mengibarkan panji-panji kesenian mereka. Para penggiat seni mencoba mengenalkan seni rupa, menggiatkan dunia kesenian dikota mereka, mencoba membuat pandangan baru dalam berkesenian. Walaupun disisi lain komponen-komponen kesenian tidak mendukung atau bahkan tidak ada, untuk dapat mendukung perjuangan mereka. Sehingga seniman yang terbagung dalam kelompok seni tidak dapat mengekspresikan jiwa seni mereka secara maksimal,dan bahkan kelompok seni tersebut berumur pendek. Tetapi penulis yakin, bahwa seniman Bumiayu memang tidak kenal menyerah, tetap semangat, dan terus bergerak untuk mewujudkan dan menyempurnakan nilai kesenimanannya. Dan berusaha membawa nama daerahnya di kancah seni nasional atau bahkan internasional. Mungkin itu sedikit catatan singkat tentang perjalanan para pelaku seni yang ada di Bumiayu.
Salam Budaya !!
Narasumber :
·         Bpk.Sudarsono.
·         Suyatno.
·         Heppy(kidung Setan Kober).
·         Haris “Agep” Zulfikar.
·         Lukman Aris.