Rabu, 22 Januari 2014

BIOSKOP SENA DALAM KENANGAN


BIOSKOP SENA DALAM KENANGAN
Masyarakat kota Bumiayu dan sekitarnya tentu tidak asing lagi dengan nama Gedong Bioskop Sena. Sebuah tempat pertunjukan masyarakat yang menyajikan film-film layar lebar, baik film Hollywood, India, Mandarin, ataupun film Nasional. Tetapi semuanya itu kini hanya tinggal kenangan dan menjadi sebuah ceritera dari para orang tua kita. Bioskop Sena merupakan sebuah kebanggan bagi masyarakat Bumiayu dan sekitarnya. Dimana pada waktu itu periode tahun 50-an sampai 90-an, bioskop Sena ramai dikunjungi masyarakat Brebes Selatan untuk menyaksikan film-film favorit mereka. Namun segala sesuatunya memang mempunyai umur atau masa di dunia ini. Begitu juga nasib Gedong Bioskop Sena, sekarang hanya tersisa puing-puing yang tak terawat.
Keadaan semacam ini memang di pengaruhi banyak faktor, di antaranya adalah sengketa kepemilikan gedung atau lahan tersebut, dan pengaruh teknologi yang menggantikan film layar lebar ke bentuk yang lebih portabel yaitu vcd dan dvd dan juga internet. Kondisi gedung tersebut sekarang sungguh memprihatinkan. Kondisinya tinggal puing hanya menyisakan bagian depan gedung tersebut dan tulisan “SENA”, yang masih terpasang di bagian atas depan gedung tersebut. Walaupun bagian samping gedung tersebut masih ada tetapi kondisinya sudah tidak utuh lagi. Gedung Sena bukan hanya sebuah bioskop yang menyajikan pertunjukan film, tetapi jika ditelusuri lebih jauh gedung tersebut memilki nilai historis yang penting dan sebagai saksi bisu sejarah di Bumiayu.

Sekilas Sejarah Gedong Sena.
Gedung yang terletak di jalan Ahmad Dahlan sebelah timur kantor Polsek Bumiayu, mempunyai perjalanan panjang sampai menjadi gedung bioskop Sena. Secara historis bioskop Sena memang mempunyai sejarah yang membekas di hati masyarakat, dan menjadi saksi bisu sejarah di Bumiayu. Gedong Sena berdiri di lahan bekas sekolah milik Tiong Hwa Hwee Koan (THHK). Yang awal pendiriannya dimulai sekitar tahun 1951. Di mana sebelum berdirinya Gedong Sena, yaitu pada tahun 1947 terjadi Agresi Militer Belanda I. Yang berimbas kepada keamanan nasional bangsa Indonesia yang baru dua tahun menikmati kemerdekaannya. Dimana imbas tersebut juga menyeluruh sampai ke pelosok penjuru tanah air, tak terkecuali di Bumiayu. Yang terjadi di Bumiayu adalah ketidakstabilan dalam keamanan dan terprovokasinya warga pribumi.
Pada saat terjadi agresi militer belanda I, di Bumiayu terjadi kerusuhan yang mengakibatkan dibakarnya bangunan-bangunan milik warga Tiong Hwa. Bangunan milik warga Tiong Hwa di bakar masa, dan tak terkecuali sekolah milik Tiong Hwa Hwee Koan (THHK) ikut dibakar pula. Kerusuhan tersebut di picu bahwa warga Tiong Hwa tidak pro terhadap kemerdekaan. Sehingga yang terjadi adalah kebencian rakyat pribumi terhadap warga Tiong Hwa, dan memuncak pada pembakaran bangunan-bangunan milik Tiong Hwa. Kerusuhan antara warga pribumi dan warga Tiong Hwa pada waktu itu, menurut sejarah adalah karena politik adu domba penjajah Belanda. Menurut sumber sejarah yang berkaitan dengan peristiwa Agresi Militer Belanda I, bahwa warga Tiong Hwa dimanfaatkan oleh Belanda sebagai mata-mata. Di wilayah Brebes pada waktu itu warga Tiong Hwa dijadikan mata-mata Belanda untuk mengetahui “sarang” gerilya warga pribumi. Regu mata-mata Tiong Hwa disebut Po Ang Tui (PAT). Dari kausal tersebut maka timbullah kebencian rakyat in lander terhadap warga Tiong Hwa, dan berakibat kerusuhan antar etnis dan kekacauan keamanan.
Agresi Militer Belanda I mengakibatkan ketidakstabilan dalam segala bidang, bagi bangsa yang baru merdeka tersebut. Hal ini berimbas pada keamanan nasional, dan terhentinya aktivitas para warga pribumi. Dikatakan sepanjang Revolusi (1945-1949), lokasi bekas sekolah Tiong Hwa di Bumiayu menjadi sepi. Hal ini dikernakan kondisi kemanan yang tidak kondusif dan warga masih khawatir dengan Agresi Belanda. Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama, pada tanggal 29 Juni 1949 Belanda meninggalkan Yogyakarta. Secara tidak langsung kedaulatan bangsa Indonesia kembali utuh. Pada waktu itu pula Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) kecuali Irian Barat pada bulan November 1949, yang berarti daerah-daerah yang diduduki Belanda termasuk kabupaten daerah Brebes harus kembali ke pangkuan RIS.
Setalah Belanda angkat kaki dari Bumi Pertiwi, kondisi keamanan nasional kembali pulih. Aktifitas warga kembali berangsur normal dan diimbangi dengan perbaikan infrastuktur. Setelah kondisi kota Bumiayu yang berangsur aman dan kondusif, aktivitas warga juga kembali seperti biasa. Warga Bumiayu seolah membutuhkan kesegaran setelah kondisi yang carut marut akibat agresi militer Belanda. Maka dari itu pada 1951 di bangun sebuah gedung hiburan yang berdiri di atas tanah bekas sekolah Tiong Hwa tersebut. Gedung pertunjukan tersebut pada awalnya diberi nama Venus. Tetapi kemudian nama Venus diganti dengan Sena, karena pada saat itu di nilai terlalu kebarat-baratan, disebabkan semua yang berbau barat di larang pemerintah. Dimana pada waktu itu kepemimpinan bangsa Indonesia di pimpin Soekarno, yang mempunyai kebijakan anti Imperealisme Barat.
Pada awalnya pembangunan gedung Sena tersebut masih sebagai gedung pertunjukan, sebagai sarana hiburan rakyat dan tentara sehabis perang kemerdekaan. Lebih jauh kompleks sekolah Tiong Hwa tersebut pada jaman penjajahan, memang kerap dijadikan sebagai tempat pertunjukan. Jadi sebelum gedung Sena berdiri, memang pada waktu itu kompleks sekolah tersebut telah menjadi pusat hiburan masyarakat Bumiayu. Pada jaman pendudukan Belanda dan Jepang, kompleks tersebut sering dijadikan pementasan ketoprak, sandiwara dan tonil. Dan tentunya pada masa itu merupakan hiburan yang menarik bagi masyarakat Bumiayu dan sekitarnya.
Setelah berdiri sebuah gedung pertunjukan yang awalnya bernama venus dan berubah menjadi sena, suasana hiburan di kota Bumiayu menjadi semarak. Gedung venus fungsi utamanya adalah sebagai gedung pertunjukan tonil, sebuah pertunjukan khas Belanda yang dipentaskan dan sebagai pengobat rindu tentara Belanda pada tanah kelahirannya. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, gedung venus kemudian beralih fungsi menjadi sebuah bisokop. Nama venus masih tetap digunakan, hanya saja pertunjukan yang ditampilkan adalah film. Dimana film-film yang tayang pada waktu itu, adalah film “bisu” yaitu sebuah film hitam putih dan tidak bersuara.
Walaupun hanya menyaksikan film bisu, masyarakat Bumiayu pada waktu cukup terhibur. Film bisu seperti Charlie Chaplin sering ditayangkan di bioskop venus tersebut. Nama venus kemudian berganti menjadi Sena sekitar tahun 1955, dan pada tahun 1965 nama Sena sudah sangat terkenal di lingkungan masyarakat Brebes Selatan. Sejak saat itulah Gedong Sena menjadi tempat hiburan andalan dan favorit masyarakat Bumiayu dan sekitarnya. Pada periode awal Sena menjadi bioskop yang menayangkan film-film Barat dan Nasional. Dengan adanya hiburan berupa film format layar lebar, menjadi wahana hiburan dan sekaligus informasi bagi warga bumiayu. Film-film yang ditayangkan bioskop Sena selalu menarik dan dipenuhi para penonton dari sekitaran Bumiayu, seperti dari Sirampog, Tonjong, Paguyangan , Bantarkawung dan Salem. Dimana kota Bumiayu menjadi center dalam segala bidang bagi kecamatan-kecamatan disekitarnya, disamping kondisi demografi yang mendukung sebagai pusat aktivitas masyarakat.


Memori dengan Gedong Sena.
Sebagai warga masyarakat Bumiayu tentunya mempunyai kenangan dengan Gedong Sena. Dimana setiap periodenya selalu menyuguhkan film-film yang menghibur dan menarik untuk selalu ditonton. Film-film yang ditayangkan mulai dari film-film Hollywood, mandarin, India, samapai film Nasional, tidak pernah sepi oleh pengunjung yang selalu ingin meyaksikan film favoritnya. Selera setiap individu berbeda dalam mengapresiasi karya seni, dalam konteks ini apresiasi terhadap film tentunya juga berbeda. Di Gedong Sena film yang disajikan memang variatif, tetapi mempunyai penikmat khusus. Film Hollywood tentunya tetap menjadi favorit dalam dunia perfilman.
Di bioskop Sena tidak hanya film Hollywood yang menjadi menu utama, setidaknya film-film India dan Mandarin selalu mendapat tempat di hati warga Bumiayu dalam menikmatinya. Di samping itu film-film Nasional juga tidak kalah ramai dengan film Barat, selalu saja ada yang menonton. Film Hidustan selalu ramai di kunjungi ketika di tayangkan di Gedong Sena. Para penontonya datang dari wilayah Bumiayu hingga ke pelosok, seperti Sirampog, Bantarkawung dan Paguyangan. Begitu juga dengan film Mandarin tidak kalah ramai dengan film India, karena produksi film dari tiap negara mempunyai ciri khas masing-masing. Sehingga selalu asik dan menarik untuk di tonton, film India identik dengan lagu dan tariannya dalam setiap film. Sedangkan film Mandarin khas dengan laga yang cepat dan sedikit lelucon di beberapa produksi filmnya.
Karakteristik dari tiap film tersebut tentunya memetakan para penikmat atau audiens dalam mengapresiasinya. Begitu juga dengan film-film Nasional yang ditayangkan di Bioskop Sena juga senantiasa dipenuhi para penonton fanatiknya. Dunia perfilman Nasional memang dari setiap periode mempunyai cirikhas masing-masing, latar budaya dan sosial mempengaruhi dalam produksi film Nasional. Film-film Nasional identik dengan drama, action, horor, sensualitas dan juga komedi. Dunia perfilman Nasional memang mengalami pasang surut, sehingga yang timbul adalah bagaimana cara mempertahankan kwalitas film. Pada periode 80-90-an, di bioskop Sena sering ditayangkan film-film Nasional dari mulai horor, action, drama, sensualitas hingga komedi. Film-film dengan narasi cerita tersebut senantiasa hadir dalam layar lebar di Gedong Sena.
Film dengan cerita silat atau pendekar pada era 90-an, ramai ditonton oleh para warga Bumiayu. Penulis ingat dulu ada sebuah tradisi dari beberapa sekolah di Bumiayu, menggiring para siswanya untuk menonton film Nasional yang di putar di Bioskop Sena. Film yang menggelorakan perjuangan dan budaya bangsa Indonesia, diharapkan dapat menumbuhkan kecintaan terhadap film Nasional. Film-film seperti Fatahilah, Saur Sepuh dan Tutur Tinular, dan juga Rhoma Irama, ramai ditonton oleh para warga di Bumiayu dari semua kalangan juga oleh setiap umur. Film-film Rhoma Irama juga selalu ramai di tonton warga Bumiayu. Karena film Rhoma mengandung nilai budaya dan juga membawa misi moral dan sosial dalam setiap film, disamping misi humanisme lainnya. Film komedi Warkop juga sering ditayangkan di Bioskop Sena, film yang selalu mengundang tawa para penontonya menjadikan film Warkop senantiasa ditunggu.
Film-demi film terus ditayangkan oleh Bioskop Sena dari mulai siang hinggga malam hari. Dari siang sampai malam Sena selalu ramai dikunjungi oleh warga Bumiayu dan sekitarnya. Tetapi mulai rentang waktu 90-an akhir, Sena mulai sepi dan ditinggal para penggemarnya. Banyak faktor yang mempengaruh kenapa bisnis dunia perfilman mulai sepi. Salah satu faktor adalah perkembangan zaman dan kemajuan dibidang teknologi, menyebabkan minat menonton bioskop berkurang. Disamping juga kondisi sosial, politik dan ekonomi yang mendera Bangsa Indonesia para akhir 90-an. Dimana pada waktu itu terjadi kudeta oleh kelompok reformis, dan menggulingkan kepemimpinan Suharto. Tetapi faktor yang paling berpengaruh adalah pergeseran dalam format film, sehingga mengubah dalam proses apresiasi karya film tersebut.
 Dengan adanya teknologi digital yang portabel, membuat dunia perfilman dan bisnis film layar lebar mulai sepi. Dengan adanya teknolgi seperti video compac disc (vcd), digital video disc (dvd), membuat film semakin dapat dengan mudah diaskses melalui teknologi portabel. Format film yang semakin simple membuat masyarakat Bumiyu berpindah dalam menikmati sebuah film. Masyarakat semakin pragmatis dalam setiap segi kehidupan tak terkecuali dalam menikmati sebuah film. Walaupun keberadaan vcd dan dvd pada waktu termasuk barang baru, karena bersifat baru tersebut masyarakat penasaran dan ingin mencobanya. Dengan adanya teknolgi baru tersebut di lingkungan kota Bumiayu, muncul penyewaan vcd dan dvd yang menyediakan ragam film. Disisi lain kondisi ekonomi bangsa Indonesia juga sedang dalam  kondisi krisis, sehingga banyak perusahaan atau bisnis yang gulung tikar. Hal ini karena perusahaan tidak dapat menutup biaya produksi.


Situasi semacam itu membuat Bioskop Sena tutup, Sena tutup atau berhenti beroperasi sekitar akhir tahun 1997. Setelah Sena tutup tentunya warga Bumiayu merasa kehilangan, sebuah tempat hiburan bioskop yang pernah berjaya kurang lebih lima dekade. Setelah tutup, Gedong Sena masih berdiri utuh dan masih terpampang poster-poster film di dindingnya. Sena masih berdiri kokoh tetapi tidak ada aktivitas seperti biasanya. Hari-hari setelah Sena tutup kompleks tersebut mulai sepi, hanya ramai oleh aktivitas pendidikan sekolah yang ada disekitarnya. Aktivitas hiburan sudah mulai hilang, warga Bumiayu sudah tidak dapat lagi menikmati suguhan layar lebar. Mereka sudah dapat menonton film lewat vcd, dvd, dan lewat televisi.
Tetapi bagi sebagian warga Bumiayu masih memendam kerinduan terhadap Gedong Sena. Itu terbukti setelah tutup beberapa tahun, Gedong Sena buka kembali sekitar tahun 2001-2002. Penulis masih ingat dimana pada waktu Sena buka kembali, masih saja ada penonton yang datang untuk menonton pemutaran film baru. Penulis sendiri serasa tidak percaya atau seolah mimpi, karena ingatan tentang Sena buka kembali serasa samar-samar. Tetapi memang Sena pernah buka kembali pada tahun tersebut, dan masih saja ada penggemar fanatiknya dan mendatangi Sena. Tetapi kejadian itu tidak bertahan lama, hanya sekitar beberapa bulan saja kemudian tutup lagi sampai dengan kondisi yang sekarang. Setalah Sena tutup  untuk yang kedua kalinya, gedung tersebut dibiarkan kosong dan tidak digunakan untuk kegiatan.

Sena dan Musik Underground
Sena yang sudah tutup tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan, gedung tersebut dibiarkan kosong dan tidak terurus. Tetapi disisi lain, dimana di Bumiayu pada waktu itu sedang tumbuh dan berkembang komunitas musik Underground. Komunitas musik ekstrim tersebut tertampung dalam wadah Bumiayu Underground Comunity (BUC). Dimana nama awal untuk komunitas tersebut adalah Bumiayu Corpse Grinder (BCG), dimana komunitas tersebut mulai muncul dan berkembang di Bumiayu sekitar tahun awal tahun 2000. Komunitas Underground di Bumiayu yang baru muncul tersebut, tentunya ingin menunjukan eksistensi kelompok mereka. Salah satunya adalah dengan mengadakan event atau acara musik yang menyajikan musik-musik keras. Idealnya dalam komunitas musik Underground tertanpung berbagai jenis musik, diantaranya adalah Black Metal, Ghotic Metal, Thrash Metal, Death Metal, Brutal Death, Grind Core dll.
Event pertama yang di adakan oleh kelompok Bumiayu Corpse Grinder (BCG), adalah Bumiayu Histeris I pada tanggal 17 Agustus 2000 bertempat di gedung Kawedanan Bumiayu. Dimana grup yang tampil antara lain Santet, Soulsick, Destruction, Horror, Trotoar Corp, Laknat, Akar dan Runtah Fir’aun. Event tersebut sebagai bukti bahwa di Bumiayu ada komunitas musik ekstrim dan patut diperhitungkan. Setelah event pertama sukses, event-event selanjutnya rutin di gelar hampir setiap tahun. Untuk penyelenggaraan event selanjutnya masih di gedung kawedanan dan selanjutnya di gedung Hok Gwan. Event Underground dengan judul seperti Bumiayu Histeris, Bumiayu Underground, Bumiayu Bawah tanah, Tembang Njero Lemah, intens diadakan setiap tahun di Bumiayu.
Event Underground tersebut memang selalu dipadati oleh para penggemar fanatiknya, hanya saja tempat penyelenggaraannya masih jauh dari nyaman. Disadari atau tidak Bumiayu pada waktu itu, memang belum mempunyai tempat pertunjukan yang layak. Bumiayu belum mempunyai gedung serba guna yang layak untuk berbagai seni pertunjukan. Dan bahkan sampai sekarang Bumiayu memang belum ada gedung serba guna, ke depannya Bumiayu diharapkan mempunyai gedung serba guna atau gedung kesenian. Jadi dengan kondisi semacam itu memaksa event-event musik yang berskala kecil, selalu di adakan di Gedung Kawedanan (eks. Kawedanan) dan event besar di Lapangan Asri.
Kondisi yang tidak mendukung semacam itu membuat komunitas musik di Bumiayu, mencari tempat-tempat alternatif untuk dijadikan tempat pertunjukan. Di antara tempat yang dijadikan tempat alternatif untuk pertunjukan, adalah gedung Hok Gwan yang terletak di kompleks lap Asri. Dan tentunya adalah Eks. Gedong Sena yang sempat dua kali dijadikan untuk event musik Underground di Bumiayu. Event Underground yang sempat terdokumentasikan oleh penulis antara lain,  adalah Tembang Njero Lemah 30 Nopember 2003. Dan event Underground terakhir yang di adakan di eks Gedong Sena, adalah Bumiayu Undergroun IV 8 Februari 2004. Kedua Event tersebut menjadi titik kulminasi komunitas Underground Bumiayu, yang selanjutnya musik ekstrim di kota tersebut vakum.

Sedikit untuk mengingat event tersebut di atas, Tembang Njero Lemah pada tahun 2003 yang diadakan di eks.Bioskop Sena cukup ramai dipenuhi massa hitam. Event tersebut menampilkan band-band seperti Santet, Dhemit, Holly Guardian Angel, Anathema Dismorpheus, Zoilus, Demented, Sevile Dementia, Durgalameta, Authentic, dll.  Tahun selanjutnya yaitu pada tahun 2004 adalah Bumiayu Underground IV, acara ini menjadi penutup dan sebagai antiklimaks dari sebuah komunitas musik ekstrim di Bumiayu. Dimana pada event tersebut mendatangkan grup keras papan atas Indonesia yaitu Betrayer, yang melejit dengan hit Bendera Kuning. Selain Betrayer tampil juga band-band dari luar daerah seperti Sentet, Grafenberg, Against(Purwokerto),No Life, Kidung Kematian (Semarang), Erotic Nightmare (Brebes) dan Nilar Dunyo (Cilacap). Event yang terakhir ini sebagai penanda komunitas Underground Bumiayu akan vakum.
Jadi Gedong Sena setelah tutup dan tidak digunakan, justru dimanfaatkan oleh komunitas musik yang ada di Bumiayu salah satunya adalah komunitas musik Underground. Kondisi seperti itu dikarenakan tidak adanya sebuah gedung serba guna atau gedung pertunjukan yang layak, sehingga komunitas yang ada di Bumiayu memanfaatkan tempat-tempat alternatif seperti eks. Bioskop Sena. Sekali lagi disini Gedong Sena juga menjadi saksi sejarah perkembangan musik di kota Bumiayu. Gedong sena tetap menjadi sebuah tempat yang akan selalu di ingat oleh warga Bumiayu. Dimana secara historis memang di kompleks tersebut dulunya sebagai tempat pertunjukan rakyat. 

Dan diharapkan ke depannya di Bumiayu, akan mempunyai sebuah tempat pertunjukan atau gedung serba guna. Sehingga iklim berkesenian di Bumiayu akan tumbuh aktif dan dinamis, dimana gedung pertunjukan berperan penting dalam scene dunia seni. Dan tidak memnutup kemugkinan di kompleks eks.Gedong Sena dapat dibangun sebuah Gedung Pertunjukan Rakyat. Mengingatkan pada periode dahulu dimana seni yang menghibur rakyat akan selalu ramai, karena seni itu secara substansial akan disajikan dan dinikmati oleh audiens(rakyat). Penulis sebagai salah satu pelaku dan pemerhati seni di Bumiayu, mengharapkan kedepannya Bumiayu akan mempunyai sebuah gedug Pertunjukan Rakyat. Mudah-mudahan dari sebuah catatan kecil ini, dapat menjadikan wacana bagi para pembaca dan pelaku seni di Bumiayu dan sekitarnya. Terakhir  saran dan kritiknya penulis tunggu untuk menyempurnakan catatan kecil ini, yang menurut penulis masih jauh dari sempurna.
Salam Budaya!!
Referensi
·         Nara Sumber dari Berbagai Tingkat Usia.
·         Radar Brebes, Selasa 11 April 2013.
·         Sejarah Kabupaten Brebes (e-book).





2 komentar: